Derajat Kesehatan Masyarakat Indonesia Meningkat, Studi Ini Jelaskan


KOMPAS.com – Dalam sebuah studi peer-review yang dipublikasikan di jurnal The Lancet menunjukkan bahwa derajat kesehatan masyarakat Indonesia pada umummya mengalami kemajuan besar atau meningkat. Namun, sayangnya masih ada kesenjangan dalam beberapa indikator kesehatan antar provinsi.
Studi yang diterbitkan pada Selasa (11/10/2022) di The Lancet Global Health ini, para peneliti menganalisis ratusan penyakit, cedera, dan faktor risiko kesehatan di Indonesia secara sistematis baru berdasarkan data Global Burden of Disease (GBD) Study 2019.
GBD adalah pengamatan studi epidemiologi global terlengkap yang menyediakan alat untuk mengukur tantangan kessehatan di 204 negara di dunia, yang mana kini telah memasuki tahun ke-30.
“Kita telah lama menyadari adanya perbedaan status kesehatan antar daerah di negara kita yang besar dan beragam ini,” kata Dr. Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan Republik Indonesia periode 2012–2014 dan anggota badan pengurus IHME, dalam siaran persnya, Rabu (12/10/2022).
Berdasarkan studi yang dilakukan di 34 provinsi di Indonesia, menunjukkan beberapa indikator peningkatan derajat kesehatan masyarakat, di antaranya sebagai berikut.
Baca juga: Tak Hanya Jalan Kaki 10.000 Langkah, Jalan Cepat Juga Punya Manfaat bagi Kesehatan
Angka harapan hidup laki-laki dan perempuan di Indonesia, antara tahun 1990 dan 2019, meningkat di seluruh provinsi.
Angka harapan hidup laki-laki menunjukkan peningkatan dari usia 62,5 menjadi 69,4 tahun dengan perubahan positif sebesar 6,9 tahun.
Sedangkan angka harapan hidup perempuan selama periode yang sama juga meningkat dari usia 65,7 menjadi 73,5 tahun atau meningkat sebesar 7,8 tahun.
Sementara itu, angka harapan hidup tertinggi pada tahun 2019 adalah provinsi Bali yakni 75,4 tahun, dan angka harapan hidup Papua yang terendah dengan angka 65,2 tahun, selisih 10,2 tahun.
Sebagian besar faktor risiko kesehatan masyarakat Indonesia disebabkan oleh tekanan darah sistolik yang tinggi dan kebiasaan merokok atau penggunaan tembakau. Faktor tersebut ditemukan di semua provinsi di Indonesia.
Faktor risiko lainnya adalah gizi buruk pada anak dan ibu, yang sebagian besar masih ditemukan di Kalimantan Utara, Gorontalo, dan Papua.
Baca juga: Cacar Monyet Mengancam Kesehatan Global, Bagaimana Persiapan Rumah Sakit Menghadapinya?
Indeks massa tubuh yang tinggi merupakan faktor risiko utama untuk Riau, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur, dan faktor risiko utama kedua untuk Kepulauan Bangka-Belitung, Kalimantan Utara, Jakarta, Papua Barat, dan Papua.
“Temuan penelitian ini sangat penting untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mengurangi beban penyakit di Indonesia karena menunjukkan faktor risiko dan penyakit utama di setiap provinsi, sehingga memungkinkan untuk merencanakan dan mengimplementasikan program dan kebijakan di tingkat lokal,” kata Prof Ali Mokdad dari IHME.
Transisi epidemiologis Indonesia terus berlanjut dan memperkenalkan tantangan baru yang signifikan terhadap sistem kesehatan.
Studi ini menunjukkan bahwa penurunan beban penyakit menular di beberapa provinsi masih berjalan cukup lambat, sementara penyakit tidak menular terus mempengaruhi kesehatan masyarakat Indonesia, meskipun dalam pola yang tidak merata di seluruh provinsi.
Penyakit tidak menular seperti diabetes adalah isu kebijakan kesehatan yang mendesak—diabetes adalah penyakit yang sangat mahal untuk diobati dan dikelola.
Baca juga: Kasus Positif dan Kematian akibat Covid-19 Meningkat, Masyarakat Diminta Ketatkan Protokol Kesehatan
Selama 30 tahun terakhir, dan sejak Indonesia meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2014, penyakit menular seperti TB, diare, dan infeksi saluran pernapasan bawah tetap menjadi sumber utama Disability-adjusted Life Years (DALYs) atau jumlah tahun hidup sehat yang hilang di Indonesia.
Sedangkan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung iskemik dan diabetes melonjak.
“Temuan dari studi beban penyakit subnasional pertama untuk Indonesia ini memberikan dasar yang kuat untuk merumuskan kebijakan penanganan penyakit menular dan tidak menular serta memperkuat sistem kesehatan,” kata Pungkas Bahjuri Ali, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS Indonesia.
Analisis dalam studi ini telah memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi kesehatan di Indonesia sesaat sebelum pandemi Covid-19 dan kemanjuran kebijakan dan program kesehatan yang diterapkan di Indonesia yang mungkin tidak terdeteksi karena pandemi.
Studi ini merupakan hasil kerja sama antara jaringan peneliti dan pembuat kebijakan dari lembaga pemerintah dan lembaga akademik di Indonesia.
Termasuk di antaranya Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS, Kementerian Kesehatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Badan Penyelenggara Statistik (BPS), dan Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di Fakultas Kedokteran University of Washington.
Baca juga: Kualitas Udara Buruk, Apa Dampaknya pada Kesehatan? Ini Kata Dokter

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

source