Kondisi gagal tumbuh, tertalu pendek pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis atau yang dikenal dengan stunting, ternyata tak hanya terjadi pada anak dari keluarga miskin, anak-anak dari keluarga mapan secara ekonomi juga bisa mengalami stunting. Pola asuh yang buruk menjadi sebab utamanya.
———————-
Faktor tingginya masalah stunting pernah diungkapkan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), yakni buruknya asupan gizi dan nutrisi. Mulai ketika anak di dalam kandungan, lahir, hingga berusia dua tahun. Biasa dikenal dengan istilah 1.000 hari pertama kehidupan.
Asupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan, berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Ketika kebutuhannya cukup, masalah stunting bisa dihindari.
Pentingnya 1.000 hari pertama kehidupan disadari Anna (bukan nama sebenarnya), salah satu orang tua yang anaknya sempat mengalami tumbuh kembang tidak optimal. Dia menyebut sebelum menikah sebenarnya sudah bertekad untuk memberikan gizi terbaik bagi anaknya. Namun, tekad saja ternyata tidak cukup. Itu dirasakan Anna ketika memiliki anak.
”Dulu di awal-awal ada beberapa prinsip soal bagaimana membesarkan anak yang saya pegang. Tapi ternyata itu tidak sepenuhnya benar,” kata Anna.
Anna menyebut salah satu prinsip yang sempat menjadi pegangannya adalah soal makanan kemasan. ”Sempat anti untuk kasih anak makanan kemasan. Mikirnya waktu itu kan soal pengawet terus ada tambahan perasa, yang saya kira gak baik buat bayi,” tutur perempuan lulusan sarjana pada salah satu kampus di Kota Mataram.
Dia kemudian memilih membuat secara mandiri makanan pendamping ASI (MPASI). Cara ini ternyata menyita banyak waktu. Apalagi ketika itu Anna merupakan ibu pekerja. Aktivitas pekerjaannya membuat Anna tak bisa rutin menyediakan MPASI bagi anaknya. Apalagi dia kerap meninggalkan anaknya untuk tugas ke luar kota.
”Waktu itu bisa dua tiga hari dalam seminggu, kadang ke luar kota. Mau gak mau, anak dititip ke saudara atau PRT harian,” ujarnya.
Ketika kerap ditinggal, Anna menyebut anaknya masuk fase memilih-milih makanan. ”Lebih suka makan jajan-jajanan di kios itu. Pas dikasih makanan utama, sulitnya minta ampun,” sebut Anna.
Akibat lebih sering makan jajanan, asupan gizi anaknya rendah. Kata Anna, anaknya sempat mengalami berat badan rendah. Bahkan kerap rewel dan sakit-sakitan. ”Sebenarnya salah saya juga. Terlalu sibuk,” ungkapnya.
Beruntung Anna cepat menyadari itu. Dia kemudian mengubah pola pemberian nutrisi bagi anaknya. Menggenjot kebutuhan gizi anaknya dengan pemberian protein. ”Sekitar umur mau dua tahun itu sadarnya. Saya berhenti dari pekerjaan lama, fokus urus anak,” ungkap Anna.
Dari segi ekonomi, Anna tidak tergolong keluarga miskin. Anna sekeluarga menempati rumah yang cukup nyaman, bertembok bata dan berlantai keramik. Anna dan suaminya pun memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Karena itu, ketika sadar tumbuh kembang anaknya tidak optimal, dia mengaku terkejut.
Dari sana Anna memetik pelajaran penting. Pengetahuan dan tekad saja ternyata tidak cukup. Butuh juga mendengar saran dari ahli, seperti dokter anak maupun spesialis gizi.
”Memang dulu agak sok tahu. Mikir kalau begini baik. Ternyata salah,” ujar ibu dari dua anak ini.
Cerita berbeda datang dari Mini, buruh migran perempuan dari Lombok Timur. Mini telah bekerja di Malaysia selama tiga tahun. Keputusan ini membawa konsekuensi terhadap pengasuhan anaknya. Yang terpaksa harus diasuh kerabat terdekatnya di kampung halaman.
”Mau tidak mau. Kalau gak ke Malaysia, bingung mau kerja apa di sana,” kata Mini.
Terpisah jauh dari anak, bukan berarti Mini melepas tanggung jawabnya sebagai orang tua. Hasil kerjanya di Malaysia, sebagian besar diberikan orang tuanya. Dengan harapan, anak- anak yang terpaksa ditinggalkan, bisa mendapat asupan makanan yang layak.
Selain soal makanan, Mini rupanya kerap mengingatkan orang tuanya. Untuk tidak lupa membawa cucunya ke posyandu. Dengan cara ini, dia mengaku bisa mengontrol tumbuh kembang anaknya, dari jarak jauh.
”Alhamdulillah selama ditinggal itu sehat, jarang sekali sakit. Kalau beratnya juga pas ya, saya kan ngecek juga, paling tidak seminggu sekali,” ungkapnya.
Ketua IDAI Provinsi NTB dr Nurhandini Eka Dewi mengungkapkan, salah satu pintu masuk stunting pada anak adalah snack, makanan ringan kemasasan yang dijual di pasaran. Kondisi ini banyak tidak disadari orang tua, baik yang dari keluarga mampu maupun kurang sejahtera.
”Akhirnya apa, makanan yang bergizi itu tidak mau disentuh,” ungkap Eka.
Dia menerangkan, sebagian besar anak stunting lahir dari keluarga dengan kondisi ekonomi ke bawah. Yang kesulitan untuk membeli makanan bergizi bagi anaknya. Namun, Eka juga menemukan anak stunting yang berasal dari keluarga mapan. Yang kedua orang tuanya memiliki pekerjaan.
Katanya, anak stunting dari orang tua mapan ada yang akibat faktor genetik. Penyakit bawaan dari orang tuanya, seperti jantung. Namun, pengaruh paling dominan adalah pola asuh. ”Kalau keluarga mampu itu lebih banyak akibat pola asuh. Anak kecil sudah dikasih uang buat beli jajan. Tidak paham mana makanan bergizi, sehingga diberikan snack,” bebernya.
Dalam penanganan stunting, pemprov melakukannya dari hulu ke hilir. Dimulai dari remaja, ibu hamil, hingga ketika anak lahir. Ketika remaja, pemerintah melakukan intervensi dengan pemberian tablet tambah darah pada remaja putri. Ditambah dengan mengedukasi soal bahayanya perkawinan anak Begitu juga dengan ibu hamil. Edukasi mengenai kebutuhan gizi selama hamil juga menjadi atensi.
”Kami jaga supaya ibu hamil itu tidak kurang darah juga. Banyak ibu hamil kurang gizi, yang melahirkan anak-anak dengan berat rendah dan kecil. Berat bayi rendah ini, 70 persennya mengarah pada stunting kalau tidak diintervensi dengan baik,” tutur Eka.
Penanganan yang spesifik, berupa pemberian makanan tambahan seperti daging, ayam, telur, ikan, dilakukan pada bayi. Penggunaan susu khusus dilakukan untuk mengatasi bayi dengan berat badan rendah atau kurang gizi.
Ada juga penanganan sensitif yang dilakukan pemerintah. Aspeknya mencakup sanitasi, pengetahuan ibu dan keluarga mengenai kebutuhan gizi, pemanfaatan pekarangan, hingga penanganan ekonomi.
”Jadi tidak bisa dipilah-pilah. Stunting ini penanganannya harus komprehensif,” tandas Eka.
Sebab Stunting dan Kiat Mengatasinya
Nutrition Officer UNICEF Kupang Ha’i Raga Lawa menerangkan, stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun. Akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Terutama pada periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), yakni dari janin hingga anak usia 23 bulan.
”Anak tergolong stunting kalau panjang dan tinggi badannya di bawah minus dua standar deviasi pada anak seumurnya,” jelas Ha’i.
Kata Ha’i, dari sejumlah pertemuan antara Unicef dengan pemerintah, masalah yang kerap muncul sebagai sebab masalah gizi di NTB adalah pola asuh keluarga. Karena itu, ia menilai perbaikan pengetahuan keluarga sangat penting dalam masalah gizi termasuk stunting.
Perbaikan pengetahuan ini melalui berbagai kegiatan termasuk pemberian informasi gizi dan konseling pemberian makan bagi ibu atau pengasuh. Selain itu, perkawinan anak juga disebutkan sebagai penyebab tidak langsung masalah gizi pada anak.
Lalu apa yang harus dilakukan orang tua? Ha’i menerangkan, posyandu menjadi sarana penting untuk monitoring pertumbuhan dan perkembangan anak. ”Hanya tenaga kesehatan terlatih, yang dapat menentukan stunting anak balita dan itu bisa dipantau rutin dari posyandu,” ungkapnya.
Jika anak terdeteksi mengalami stunting, maka upaya perbaikan asupan gizi dan penyembuhan penyakit atau infeksi sebagai penyebab utama dari stunting perlu dilakukan. Sehingga anak dapat dipulihkan status gizinya.
Perbaikan asupan gizi adalah dengan memperbaiki praktek pemberian makan bayi dan anak (PMBA) sesuai standard emas Kementerian Kesehatan dan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Seperti pemberian ASI Ekslusif untuk bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan.
Kemudian dilanjutkan dengan pemberian makanan MPASI yang cukup dan berkualitas pada anak usia 6-23 bulan sambil ASI diteruskan hingga usia 2 tahun atau lebih. Jika standar emas PMBA ini tidak dilakukan, maka anak masalah gizi pada anak akan terjadi atau terus berlanjut.
Data Akurat, Bekal Pemprov Atasi Stunting
Pemprov NTB menargetkan angka stunting maksimal 18 persen di akhir tahun 2022. Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalilah mengaku optimis target tersebut bisa tercapai. Apalagi jika melihat upaya yang dilakukan pemerintah provinsi bersama kabupaten/kota. Salah satunya soal pendataan stunting di Provinsi NTB.
Kata Rohmi, Provinsi NTB telah memiliki data anak stunting by name by address. Sehingga penanganannya bisa langsung ke objeknya, anak-anak yang menderita stunting hingga ke tingkat dusun. ”Data ini tidak ada di provinsi lain, itu keuntungan kami. Datanya dapat dari posyandu yang terus aktif,” ujarnya.
Data tersebut jadi modal penting bagi pemprov mempercepat penurunan angka stunting. Tidak seperti sebelumnya, penanganan stunting dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari hasil survei. Sehingga lebih sering tidak tetap sasaran.
Wagub juga memberi penekanan kepada pemerintah kabupaten/kota. Khususnya mengenai kebijakan anggaran. Katanya, politik anggaran penanganan stunting harus fokus. Jika intervensinya benar, angka stunting di Provinsi bisa mencapai satu digit.
Kepala Dinas Kesehatan (Dikes) NTB Lalu Hamzi Fikri mengatakan, intervensi penanganan stunting dilakukan dengan dua pola, spesifik dan sensitif. Pola spesifik berkaitan dengan ibu hamil, remaja, termasuk pemberian ASI eksklusif, bisa berpengaruh 30 persen terhadap pencegahan stunting.
”Kalau sensitif bisa sampai 70 persen, ini terkait dengan lingkungan,” kata Fikri yang juga merupakan Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) NTB ini.
Berdasarkan data pada aplikasi Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (PPGBM) per 15 September, rata-rata stunting di NTB sebesar 16,99 persen. Rinciannya, Kabupaten Sumbawa 8,11 persen; Sumbawa Barat 8,78 persen; Dompu 13 persen.
Kabupaten Bima 13,88 persen; Kota Bima 14,18 persen; Kota Mataram 17,08 persen; Lombok Timur 17,63 persen; Lombok Barat 18,69 persen; Lombok Tengah 20,81 persen; dan Lombok Utara 22,99 persen.
Fikri mengatakan, pencapaian percepatan penurunan stunting sangat tergantung pada sinergitas seluruh pihak. Ditambah dengan basis data yang kuat, pergerakan sasaran, hingga memanfaatkan seluruh sumber daya.
”Karena stunting ini penyebabnya multidimensi,” ujarnya.
Dari data PPGBM, Kota Mataram sebagai ibu kota provinsi memiliki angka stunting yang lebih tinggi, dibandingkan lima kabupaten/kota di Pulau Sumbawa. Kondisi tersebut, kata Fikri, disebabkan Kota Mataram memiliki determinan yang lebih kompleks.
Status ibu kota provinsi, menjadikan Mataram sebagai daerah urban, dengan aktivitas penduduk yang tinggi. ”Yang jadi tantangannya itu, pergerakan sasaran yang tinggi di perkotaan. Ada yang pekerja swasta, pedagang, orang kantoran, sampai perumahan yang terkotak-kotak,” kata Fikri.
Situasi pandemi covid yang berjalan hampir tiga tahun, membuat langkah intervensi stunting cukup sulit dilakukan. Data sasaran pun tidak tercover seluruhnya. Belum lagi soal pemahaman keluarga tentang stunting yang minim hingga pola asuh anak yang diserahkan kepada pekerja rumah tangga.
Selain itu, masih tingginya stunting di Kota Mataram disebabkan kurangnya pemanfaatan posyandu keluarga. Ditambah lagi Kota Mataram baru masuk menjadi kabupaten/kota lokus stunting pada 2021.
”Padahal stunting ini perlu deteksi dini lebih awal,” tandas Fikri.
Pemerintah Pusat Alokasikan Anggaran Atasi Stunting di Daerah
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyebut angka stunting di NTB tergolong rendah. Meski demikian butuh kerja lebih keras lagi agar penderita stunting bisa terus berkurang.
Pemerintah pusat, kata Hasto, turut melakukan intervensi untuk menekan penderita stunting di daerah. Salah satunya melalui alokasi anggaran. Untuk Provinsi NTB saja, jumlah anggaran yang digelontorkan mencapai Rp 30 miliar.
”Penekanan saya itu kan ada anggaran di masing-masing kabupaten/kota. Itu perlu diserap untuk penanganan stunting. Karena ini masih kurang tinggal empat bulan dan anggaran masih lumayan besar belum terserap,” kata Hasto saat berkunjung ke Mataram 14 September lalu. (dit/r10)

source