Ilustrasi Istock.
Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani Aher mengkritisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 yang dilanjutkan dengan Surat Edaran (SE) KemenPAN-RB No B/185/M.SM.02.03/2022 perihal penghapusan seluruh honorer dari instansi pemerintah per 28 November 2023. Dia menilai ketentuan ini akan membuat nasib ratusan ribu tenaga kesehatan (nakes) honorer yang bekerja di instansi pemerintah menjadi tidak jelas.
“Sampai saat ini belum ada kejelasan status nakes honorer yang sudah bekerja puluhan tahun melayani kesehatan masyarakat. Jika tidak segera diatasi, maka akan banyak nakes yang di-PHK akibat adanya ketentuan tersebut,” ujar Netty dalam keterangannya, Selasa (19/7).
Menurut Netty, alternatif lain dari PHK adalah mengangkat para honorer tersebut menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
“Persoalannya, apakah pemda (pemerintah daerah) siap meng-cover biaya belanja PPPK yang dibebankan pada anggaran daerah? Berdasarkan info yang saya dapatkan, rata-rata pemda hanya sanggup mengalokasikan 10% untuk formasi nakes PPPK,” kata Netty.
Politikus PKS ini mengatakan, jumlah tersebut tentu sangat kecil dibandingkan jumlah nakes honorer yang selama ini melayani kebutuhan kesehatan masyarakat di lapangan. Ia mencontohkan, jumlah honorer nakes di Kabupaten Indramayu yang merupakan daerah pemilihannya sekitar 1.886 orang dan di Kabupaten Cirebon sekitar 1500.
Oleh karena itu, ditekankan Netty, pemerintah pusat harus membuat kebijakan afirmasi guna mengatasi persoalan ini.
“Pemerintah pusat tidak bisa melempar tanggung jawab persoalan nakes honorer ke pemerintah daerah begitu saja. Harus ada kejelasan bagaimana cara pemda membiayai pengangkatan PPPK. Jangan sampai nanti hanya jadi angin surga: Pemda menyetujui mengangkat sebagai PPPK ternyata tidak ada anggarannya,” tutur dia.
Netty meminta pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersama-sama mencarikan solusinya. Menurut Netty, jika tidak segera dicarikan solusinya, maka penghentian nakes honorer akan berdampak pada kolapsnya pelayanan kesehatan masyarakat. Dia mengusulkan, alternatifnya bisa dengan menambah Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pembiayaan PPPK.
“Bisa dibayangkan nasib pelayanan kesehatan masyarakat di Puskesmas-Puskesmas di daerah yang kolaps akibat PHK nakes honorer. Kalau ini terjadi maka indeks kesehatan kita akan anjlok, gangguan kesehatan meningkat, prioritas nasional ke-3; yaitu membangun SDM yang sehat, unggul, dan berkualitas makin absurd,” ujarnya.
Penanganan stunting, katanya lagi, juga akan makin sulit dan berat akibat berkurangnya tenaga pelayanan di puskesmas.
“Selain itu, jika pengangguran meningkat, maka daya beli masyarakat akan menurun. Mereka tidak mampu membeli pangan bergizi untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ucapnya.