Konflik Kelompok Tani Hutan, Ratusan Pohon Dirusak Orang Tak Dikenal
Cluring Waterpark Bagikan CSR pada 200 Warga
Direktur Minta Tak Bubarkan Perusda Banongan
Dua Tahun Berdiri, Tower WiFi Dikeluhkan Warga
Petik Laut Muncar Digelar Agustus
Tim Ahli Cagar Budaya Serahkan Gelas Peninggalan Dinasti Qing
Tim BCE Siliragung Suguhkan Tarian hingga Teater Babad Blambangan
BCE Kecamatan Sempu Tampilkan Tari Cunduk Menur
BCE Kembali Digelar, Dimeriahkan Belasan Tarian
Konflik Kelompok Tani Hutan, Ratusan Pohon Dirusak Orang Tak Dikenal
Cluring Waterpark Bagikan CSR pada 200 Warga
Direktur Minta Tak Bubarkan Perusda Banongan
Dua Tahun Berdiri, Tower WiFi Dikeluhkan Warga
Petik Laut Muncar Digelar Agustus
Tim Ahli Cagar Budaya Serahkan Gelas Peninggalan Dinasti Qing
Tim BCE Siliragung Suguhkan Tarian hingga Teater Babad Blambangan
BCE Kecamatan Sempu Tampilkan Tari Cunduk Menur
BCE Kembali Digelar, Dimeriahkan Belasan Tarian
Catatan: Nuha Azizah Gunawan*
PROBLEM stunting masih menghantui masa depan generasi emas Indonesia. ”Ayo cegah stunting, agar keluarga bebas stunting” masih menjadi tema yang diusung pada Hari Keluarga 29 Juni tahun ini.
Angka stunting tahun 2021 secara umum menurun dibandingkan tahun 2019. Menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan, angka stunting tahun 2021 sebesar 24,4% turun 3,27% dibandingkan tahun 2019. Namun, penurunan ini dinilai belum maksimal oleh Presiden Jokowi untuk menghapus semua bentuk kekurangan gizi tahun 2030 mendatang.
Balita yang kini stunting akan menjadi penduduk usia produktif 15 hingga 20 tahun mendatang. Dampak stunting tidak hanya merugikan satu generasi, melainkan lintas generasi.
Menurut penelitian Grantham-Mc Gregor tahun 2007, orang dewasa yang stunting saat kecil memiliki pendapatan 20% lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami stunting. Sebesar 20% berpeluang jatuh pada kemiskinan dan sedikit yang masuk pada tenaga kerja yang terampil. Sehingga secara tidak langsung, akan berdampak pada kesejahteraan dirinya dan generasi setelahnya.
Tidak hanya itu, dampak stunting juga berpengaruh terhadap pendapatan negara yang diestimasikan kehilangan GDP sebesar 11% di negara Afrika dan Asia setiap tahunnya.
Pemerintah telah menerbitkan Perpres No 73 Tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting dengan lima kelompok sasaran. Salah satunya adalah calon pengantin. Calon pengantin di Indonesia sendiri sudah diatur oleh UU No 16 Tahun 2015, yang mensyaratkan umur calon pengantin baik perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun. Namun realitanya, masih ada praktik perkawinan anak di Indonesia.
Hasil laporan The Gender Snapshot 2021 memproyeksi akan ada 10 juta anak perempuan di dunia yang berisiko menjadi pengantin di tahun 2030, akibat pandemi Covid-19. Di Indonesia, dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan, terdapat peningkatan dispensasi kawin sebesar 64.211 kasus pada tahun 2020.
Berbicara stunting tidak terlepas dari pemenuhan gizi balita. Orang pertama yang identik bertanggung jawab langsung adalah ibunya. Meskipun pola pengasuhan yang seimbang adalah ibu bersama ayah, namun realitanya beban di pundak ibu paling berat. Sehingga ini tidak terlepas dengan kualitas ibu sebagai dunia pertama anaknya.
Untuk itu, diperlukan kesiapan secara pengetahuan, finansial, fisik, dan mental, sebelum menjadi ibu atau sebelum memutuskan untuk membangun keluarga. Adanya peningkatan dispensasi kawin ini menggambarkan ada penambahan perempuan yang menikah berusia kurang 19 tahun.
Penelitian Yvette dan kawan-kawan tahun 2017 menemukan, probabilitas pertumbuhan anak yang tidak ”on track” dan menjadi stunting berturut-turut 25% dan 29% lebih tinggi pada anak dari ibu yang menikah sebelum umur 18 tahun. Namun hal ini tidak hanya satu-satunya penyebab. Faktor disparitas pendidikan ibu dan kesejahteraan juga ikut andil dalam perkembangan dan status stunting anak. Sehingga, perkawinan perempuan di bawah 18 tahun memiliki efek lintas generasi. Yaitu memengaruhi perkembangan dan kesehatan anak.
Begitu pula dengan penelitian UNICEF tahun 2014 yang menunjukkan bahwa perempuan yang menikah di usia kurang dari 18 tahun memiliki risiko melahirkan anak yang stunting 1,5 kali dibandingkan dengan perempuan yang menikah di atas usia 18 tahun. Selain itu, akibat perkawinan usia muda ini berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan. Praktik seks yang dipaksakan dan kehamilan di umur yang terlalu dini, akan meningkatkan peluang kematian ibu dan bayi yang tinggi. Serta berpengaruh terhadap kesehatan mental ibu.
Dengan usia yang dini memiliki peluang untuk mengalami kehamilan risiko tinggi dibandingkan dengan perempuan yang hamil dan menikah di atas umur 24 tahun (WHO, 2020). Dari segi hak asasi manusia, hak perempuan atas pendidikan yang layak, kesempatan kerja, dan kesempatan ekonomi lainnya akan terampas saat perkawinan dini terjadi.
Seperti kemiskinan, kondisi ini bagai rantai setan yang harus diputuskan rantainya. Adanya perkawinan dini akan mengakibatkan kehamilan yang berisiko tinggi. Kebanyakan perempuan yang menikah dini tidak menamatkan sekolah tinggi. Sehingga akses informasi dan pengetahuan tentang gizi pun akan minim dan akan berpengaruh terhadap pola pengasuhan bayi dan pemenuhan gizi bayinya agar terhindar dari stunting. Begitu pula praktik perkawinan anak juga tidak terlepas dari unsur budaya dan kondisi sosial ekonomi di keluarganya.
Kebijakan pemerintah yang telah diterapkan untuk mempercepat penurunan stunting merupakan gebrakan yang sangat baik. Salah satunya dengan target tersedianya layanan intervensi spesifik yang langsung menangani status gizi wanita hamil, balita, dan remaja putri. Begitu juga adanya layanan intervensi sensitif, memfokuskan kepada faktor-faktor yang memengaruhi stunting seperti sanitasi, bantuan tunai bersyarat, jaminan kesehatan, fasilitas air minum, dan sebagainya yang tertuang pada strategi nasional percepatan penurunan stunting.
Dengan kebijakan penurunan stunting yang sudah dirancang apik sedemikian rupa, jangan sampai ”bocor” pada fenomena menikah di bawah umur. Hal ini dapat menjadi bumerang bagi pemerintah yang dampaknya tidak akan terasa sekarang, namun di masa yang akan datang. Selain peraturan yang membatasi usia minimal calon pengantin, tetap perlunya usaha preventif dalam mencegah perkawinan di bawah umur khususnya pada penduduk perempuan.
Peran keluarga yang sangat memengaruhi praktik perkawinan anak, mengedukasi orang tua khususnya pada masyarakat marginal tentang lebih banyaknya dampak negatif menikahkan anak usia dini dibandingkan keuntungan positifnya adalah langkah yang bisa ditempuh pada level keluarga. Lebih banyaknya praktik perkawinan anak di pedesaan daripada di perkotaan, ada baiknya memperkuat fungsi Kader Pembangunan Manusia untuk mengedukasi para orang tua di pedesaan. Adanya Dana Desa yang dapat dikelola oleh desa, membuat desa dapat leluasa untuk mengatur keuangan dan kebijakannya. Ada baiknya memperkuat pada aspek pembangunan manusia pada penduduk desa.
Tentunya, mengedukasi saja tidak cukup untuk mencegah praktik perkawinan anak. Peran tokoh adat maupun tokoh agama juga memiliki peran penting. Ada kalanya mayoritas penduduk desa lebih percaya kepada pemangku adat/agama dibandingkan dengan perangkat pemerintahan. Untuk itu, diperlukan satu suara dari tokoh adat/agama dalam memandang perkawinan di bawah umur.
Selanjutnya, untuk penduduk perempuan yang sudah menikah di bawah usia, baiknya pemerintah pada level desa memberikan wadah untuk memberdayakan dan mengedukasi mereka tentang hak-hak perempuan, hak dalam bereproduksi, kontrasepsi, dan juga kesehatan reproduksi. Diharapkan dengan usaha preventif ini dapat menekan angka perkawinan anak, sehingga tidak akan terjadi peluang stunting pada generasi setelahnya. Dari keluarga yang sehat diharapkan melahirkan generasi berdaya saing untuk Indonesia emas 2045. (*)
PROBLEM stunting masih menghantui masa depan generasi emas Indonesia. ”Ayo cegah stunting, agar keluarga bebas stunting” masih menjadi tema yang diusung pada Hari Keluarga 29 Juni tahun ini.
Angka stunting tahun 2021 secara umum menurun dibandingkan tahun 2019. Menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan, angka stunting tahun 2021 sebesar 24,4% turun 3,27% dibandingkan tahun 2019. Namun, penurunan ini dinilai belum maksimal oleh Presiden Jokowi untuk menghapus semua bentuk kekurangan gizi tahun 2030 mendatang.
Balita yang kini stunting akan menjadi penduduk usia produktif 15 hingga 20 tahun mendatang. Dampak stunting tidak hanya merugikan satu generasi, melainkan lintas generasi.
Menurut penelitian Grantham-Mc Gregor tahun 2007, orang dewasa yang stunting saat kecil memiliki pendapatan 20% lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami stunting. Sebesar 20% berpeluang jatuh pada kemiskinan dan sedikit yang masuk pada tenaga kerja yang terampil. Sehingga secara tidak langsung, akan berdampak pada kesejahteraan dirinya dan generasi setelahnya.
Tidak hanya itu, dampak stunting juga berpengaruh terhadap pendapatan negara yang diestimasikan kehilangan GDP sebesar 11% di negara Afrika dan Asia setiap tahunnya.
Pemerintah telah menerbitkan Perpres No 73 Tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting dengan lima kelompok sasaran. Salah satunya adalah calon pengantin. Calon pengantin di Indonesia sendiri sudah diatur oleh UU No 16 Tahun 2015, yang mensyaratkan umur calon pengantin baik perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun. Namun realitanya, masih ada praktik perkawinan anak di Indonesia.
Hasil laporan The Gender Snapshot 2021 memproyeksi akan ada 10 juta anak perempuan di dunia yang berisiko menjadi pengantin di tahun 2030, akibat pandemi Covid-19. Di Indonesia, dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan, terdapat peningkatan dispensasi kawin sebesar 64.211 kasus pada tahun 2020.
Berbicara stunting tidak terlepas dari pemenuhan gizi balita. Orang pertama yang identik bertanggung jawab langsung adalah ibunya. Meskipun pola pengasuhan yang seimbang adalah ibu bersama ayah, namun realitanya beban di pundak ibu paling berat. Sehingga ini tidak terlepas dengan kualitas ibu sebagai dunia pertama anaknya.
Untuk itu, diperlukan kesiapan secara pengetahuan, finansial, fisik, dan mental, sebelum menjadi ibu atau sebelum memutuskan untuk membangun keluarga. Adanya peningkatan dispensasi kawin ini menggambarkan ada penambahan perempuan yang menikah berusia kurang 19 tahun.
Penelitian Yvette dan kawan-kawan tahun 2017 menemukan, probabilitas pertumbuhan anak yang tidak ”on track” dan menjadi stunting berturut-turut 25% dan 29% lebih tinggi pada anak dari ibu yang menikah sebelum umur 18 tahun. Namun hal ini tidak hanya satu-satunya penyebab. Faktor disparitas pendidikan ibu dan kesejahteraan juga ikut andil dalam perkembangan dan status stunting anak. Sehingga, perkawinan perempuan di bawah 18 tahun memiliki efek lintas generasi. Yaitu memengaruhi perkembangan dan kesehatan anak.
Begitu pula dengan penelitian UNICEF tahun 2014 yang menunjukkan bahwa perempuan yang menikah di usia kurang dari 18 tahun memiliki risiko melahirkan anak yang stunting 1,5 kali dibandingkan dengan perempuan yang menikah di atas usia 18 tahun. Selain itu, akibat perkawinan usia muda ini berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan. Praktik seks yang dipaksakan dan kehamilan di umur yang terlalu dini, akan meningkatkan peluang kematian ibu dan bayi yang tinggi. Serta berpengaruh terhadap kesehatan mental ibu.
Dengan usia yang dini memiliki peluang untuk mengalami kehamilan risiko tinggi dibandingkan dengan perempuan yang hamil dan menikah di atas umur 24 tahun (WHO, 2020). Dari segi hak asasi manusia, hak perempuan atas pendidikan yang layak, kesempatan kerja, dan kesempatan ekonomi lainnya akan terampas saat perkawinan dini terjadi.
Seperti kemiskinan, kondisi ini bagai rantai setan yang harus diputuskan rantainya. Adanya perkawinan dini akan mengakibatkan kehamilan yang berisiko tinggi. Kebanyakan perempuan yang menikah dini tidak menamatkan sekolah tinggi. Sehingga akses informasi dan pengetahuan tentang gizi pun akan minim dan akan berpengaruh terhadap pola pengasuhan bayi dan pemenuhan gizi bayinya agar terhindar dari stunting. Begitu pula praktik perkawinan anak juga tidak terlepas dari unsur budaya dan kondisi sosial ekonomi di keluarganya.
Kebijakan pemerintah yang telah diterapkan untuk mempercepat penurunan stunting merupakan gebrakan yang sangat baik. Salah satunya dengan target tersedianya layanan intervensi spesifik yang langsung menangani status gizi wanita hamil, balita, dan remaja putri. Begitu juga adanya layanan intervensi sensitif, memfokuskan kepada faktor-faktor yang memengaruhi stunting seperti sanitasi, bantuan tunai bersyarat, jaminan kesehatan, fasilitas air minum, dan sebagainya yang tertuang pada strategi nasional percepatan penurunan stunting.
Dengan kebijakan penurunan stunting yang sudah dirancang apik sedemikian rupa, jangan sampai ”bocor” pada fenomena menikah di bawah umur. Hal ini dapat menjadi bumerang bagi pemerintah yang dampaknya tidak akan terasa sekarang, namun di masa yang akan datang. Selain peraturan yang membatasi usia minimal calon pengantin, tetap perlunya usaha preventif dalam mencegah perkawinan di bawah umur khususnya pada penduduk perempuan.
Peran keluarga yang sangat memengaruhi praktik perkawinan anak, mengedukasi orang tua khususnya pada masyarakat marginal tentang lebih banyaknya dampak negatif menikahkan anak usia dini dibandingkan keuntungan positifnya adalah langkah yang bisa ditempuh pada level keluarga. Lebih banyaknya praktik perkawinan anak di pedesaan daripada di perkotaan, ada baiknya memperkuat fungsi Kader Pembangunan Manusia untuk mengedukasi para orang tua di pedesaan. Adanya Dana Desa yang dapat dikelola oleh desa, membuat desa dapat leluasa untuk mengatur keuangan dan kebijakannya. Ada baiknya memperkuat pada aspek pembangunan manusia pada penduduk desa.
Tentunya, mengedukasi saja tidak cukup untuk mencegah praktik perkawinan anak. Peran tokoh adat maupun tokoh agama juga memiliki peran penting. Ada kalanya mayoritas penduduk desa lebih percaya kepada pemangku adat/agama dibandingkan dengan perangkat pemerintahan. Untuk itu, diperlukan satu suara dari tokoh adat/agama dalam memandang perkawinan di bawah umur.
Selanjutnya, untuk penduduk perempuan yang sudah menikah di bawah usia, baiknya pemerintah pada level desa memberikan wadah untuk memberdayakan dan mengedukasi mereka tentang hak-hak perempuan, hak dalam bereproduksi, kontrasepsi, dan juga kesehatan reproduksi. Diharapkan dengan usaha preventif ini dapat menekan angka perkawinan anak, sehingga tidak akan terjadi peluang stunting pada generasi setelahnya. Dari keluarga yang sehat diharapkan melahirkan generasi berdaya saing untuk Indonesia emas 2045. (*)
Jl. Brawijaya 77 Banyuwangi,
Telp: (0333) 412224-416647
Fax: 0333-416647
Email : radarbwi@gmail.com

source