Kurniawan Budi Irianto, Pejabat pengawas pada Kementerian Keuangan. Menulis untuk mengisi waktu luang. Opini yang disampaikan merupakan pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari tempat penulis bekerja.
Akhir tahun anggaran biasanya ditandai dengan peningkatan belanja yang dilakukan oleh pemerintah. Pembayaran berbagai tagihan acap kali mengumpul di penghujung tahun anggaran. Penumpukan tagihan pada akhir tahun bisa dikatakan merupakan sebuah hal yang rutin terjadi. Meskipun telah dilakukan himbauan untuk melakukan belanja sedini mungkin, namun beberapa satuan kerja (satker) pemerintah masih memiliki kecenderungan untuk membelanjakan anggarannya menjelang tutup tahun anggaran.
Peningkatan penarikan belanja di akhir tahun dilakukan mengingat anggaran yang tidak terserap akan kembali ke kas negara dan tidak bisa dibelanjakan lagi oleh pengguna anggaran. Sebagian masyarakat menganggap penarikan belanja tersebut merupakan indikasi pemborosan. Tidak sedikit pula yang menuding bahwa penyerapan anggaran di akhir tahun rawan terjadinya belanja fiktif. Beberapa pihak justru menyarankan bahwa anggaran yang tidak terserap lebih baik dikembalikan ke kas negara daripada dibelanjakan secara serampangan demi mencapai target penyerapan.
Namun benarkah pendapat tersebut?. Berbicara mengenai target penyerapan anggaran maka kita harus melihat fenomena tersebut secara utuh. Target penyerapan merupakan bagian kecil dari sebuah siklus anggaran dan berbicara penyerapan maka tahapan perencanaan dan tahap pelaksanaan anggaran memegang peran yang dominan.
Siklus anggaran dimulai dari tahap perencanaan sebagai titik pangkal. Dalam tahap perencanaan dapat dibedakan dalam tataran makro serta tataran mikro. Perencanaan anggaran pada pemerintah secara garis besar memiliki kemiripan dengan perencanaan anggaran pada sebuah rumah tangga. Pendapatan dan belanja merupakan dua sisi yang akan selalu ada dalam menyusun rencana penganggaran. Perbedaan mendasar antara anggaran rumah tangga dan pemerintah terletak pada sisi belanja. Pada perencanaan anggaran rumah tangga, besaran pendapatan merupakan penentu seberapa banyak belanja bisa dilakukan. Apabila pendapatan menurun maka belanja juga akan dikurangi. Begitu juga apabila pendapatan naik maka belanja juga akan meningkat termasuk menambah besaran pendapatan yang disisihkan sebagai tabungan.
Pada penyusunan anggaran pemerintah, target fiskal yang telah ditetapkan menjadi penentu seberapa banyak belanja harus dilakukan. Berapa pertumbuhan ekonomi yang diharapkan atau berapa banyak lapangan pekerjaan terbuka merupakan contoh kebijakan fiskal yang mendasari seberapa besar pemerintah harus belanja. Sehingga secara makro, realisasi belanja pemerintah akan menentukan apakah target fiskal yang telah ditetapkan akan tercapai atau tidak. Tidak terserapnya belanja akan berakibat target tidak tercapai dan akan mempengaruhi perekonomian secara nasional.
Belanja pemerintah merupakan gabungan dari seluruh fungsi pemerintah yang dibiayai dari APBN. Apabila dirunut belanja yang tercantum dalam APBN, maka angka tersebut dihasilkan dari sebuah proses yang cukup panjang. Diawali dari usulan kegiatan dari masing-masing satker kemudian dikumpulkan di tingkat kementerian/lembaga, ditelaah dan disusun sesuai prioritas hingga terbentuk usulan belanja tingkat kementerian/lembaga sesuai pagu indikatif yang telah ditentukan.
Meskipun usulan kegiatan merupakan program-program prioritas sesuai RPJMN, dimungkinkan untuk dilakukan seleksi lebih lanjut mana yang akan dibiayai sesuai pagu indikatif yang disediakan. Program prioritas yang belum mendapatkan alokasi anggaran dimungkinkan untuk mendapatkannya apabila terdapat penambahan pagu atau mendapatkan alokasi dari hasil efisiensi anggaran.
Proses selanjutnya adalah penyampaian nota keuangan dan RUU APBN oleh pemerintah kepada DPR. Pada tahapan ini, usulan pendapatan dan belanja dari pemerintah akan dibahas bersama dengan DPR. Hasil pembahasan tersebut berupa persetujuan serta pengesahan RUU APBN menjadi UU APBN.
Pengesahan APBN merupakan awal dari pelaksanaan anggaran, pada tahap pelaksanaan anggaran belanja yang telah dialokasikan tidak selamanya harus habis sesuai pagu yang tersedia. Pergeseran anggaran dapat dilakukan dalam hal output atas sebuah kegiatan telah tercapai. Pelaksanaan anggaran sedini mungkin di awal tahun memungkinkan bagi satker untuk merevisi kelebihan dana yang dimiliki. Revisi tersebut akan digunakan untuk membiayai kegiatan lain yang sebelumnya belum mendapatkan alokasi anggaran pada APBN. Memang merupakan hal yang susah-susah gampang bagi sebuah satker untuk “mengikhlaskan” kelebihan dananya untuk membiayai kegiatan di satker lain yang kekurangan. Faktor pimpinan baik menteri/pimpinan lembaga memegang peranan penting dalam mendorong satker untuk efisien dalam membelanjakan anggaran yang dimilikinya.
Dengan nilai belanja APBN pada kisaran Rp2.000-an triliun, tentunya belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat untuk pembangunan di Indonesia secara sempurna. Namun efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan APBN menjadi salah satu upaya untuk menambah kegiatan-kegiatan yang sebelumnya belum mendapatkan alokasi pembiayaan dalam APBN.
Kembali ke pertanyaan, mengapa penyerapan harus maksimal? Jawabannya adalah sebagai usaha pencapaian target fiskal yang ditentukan. Tentunya penyerapan yang maksimal tersebut dilakukan bukan secara serampangan namun tetap memperhatikan prinsip efisiensi dan efektivitas pelaksanaan anggaran. Secara makro target penyerapan maksimal merupakan sebuah prioritas. Sedangkan secara mikro pada level satker, pergeseran anggaran antar satker harus secara aktif dilakukan terutama bagi satker yang outputnya telah tercapai namun masih memiliki sisa anggaran.