LENSAINDONESIA.COM: Ada lima langkah yang perlu diperjuangkan DPD RI untuk menuju kesejahteraan Indonesia yang berkeadilan. Itu disampaikan pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy.
Yakni, bangsa harus bebas dari ketertindasan, bebas dari kebodohan, bebas dari kemiskinan, bebas dari ketimpangan dan bebas dari keterhinaan.
Ichsanuddin menyampaikan ketika menjadi narasumber pada acara Executive Brief dengan tema ‘Perekonomian Negara Kesejahteraan Pasal 1, 2 dan 3’ yang diselenggarakan DPD RI di Kediaman Ketua DPD RI, kawasan Kuningan, Jakarta.
Selain Ichsanuddin Noorsy, hadir pula sebagai narasumber Faisal Basri dan Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS). Sedangkan analis kebijakan DPD RI Reydonnyzar Moenek.
Konsep itu, kata Ichsanuddin, bukan lagi sekadar mencapai negara kesejahteraan. Tetapi, lebih dari itu, yaitu welfare and justice state.
“Kalau ekonomi konstitusi kita tertata rapi, maka konsep itu bisa dijalankan. Desainnya ada. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang bisa menjadi teladan dan dia bukan pengkhianat. Dia bukan kaki tangan asing. Dia jaga rumah tangga bangsanya dengan baik dan tidak dia gadaikan,” papar Ichsanuddin.
Lebih lanjut, Ichsanuddin mengatakan, konsep welfare state sudah ketinggalan zaman, sejak Black Monday pada 25 Agustus 2015. Saat ini, yang terjadi adalah ketimpangan sosial tengah menjadi musuh bersama bagi Barat.
“Ekonomi Barat itu sudah mati. Ekonomi kapitalisme selalu melahirkan masyarakat yang cemas, masyarakat yang tidak pernah ketemu harga dirinya. Maka, saat ini kita butuh mengurainya pada level hulu atau pemikiran mendasar,” tandasnya.
Dalam konteks Indonesia, Ichsanuddin menilai, jebakan penjajahan dimulai saat terjadinya kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). “Kita tak mendapat hak Marshall Plan. Yang dapat itu Belanda. Kita membayar utang kepada Belanda padahal kita tak berutang. Jadi, agresi Belanda itu kita biayai. Tapi, jangan dilihat utangnya saja, tapi lihat mata uangnya. Dalam teori moneter, ketika melihat mata uang, maka kita akan masuk pada persepsi,” terang dia.
Penjajahan kedua terhadap Indonesia, lanjut Ichsanuddin, pintu masuknya melalui IMF. “Penjajahan ketiga itu ketika ada kebijakan membebaskan perusahaan asing bebas beroperasi di Indonesia. Konsepsinya jalur moneter atau keuangan dan jalur perdagangan. Indonesia terus-menerus masuk ke dalam jebakan dan didikte,” ungkapnya.
Dijelaskan dia, pada tahun 1956 Presiden Soekarno membatalkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Selanjutnya, pada tahun 1958 Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan nasionalisasi perusahaan asing. Pada saat kebijakan nasionalisasi ini diambil, Ichsanuddin menyebut, saat itu datang perwakilan perusahaan minyak bumi ternama dan menawarkan konsep bagi hasil agar tak dinasionalisasi. “Itulah kali pertama munculnya konsep Kontrak Karya,” urainya.
Pada tahun 1967-1968, Ichsanuddin memaparkan, Indonesia kembali dijajah melalui UU PMA (Penanaman Modal Asing). “Latar belakangnya Freeport. Dia mau investasi di Indonesia dengan tiga catatan. Syarat pertama, iklim investasi Indonesia harus kondusif. Tujuannya agar Indonesia harus tunduk pada kekuatan modal internasional. Kedua, Indonesia harus mau memberikan jalan leluasa dan keringanan kepada investor. Ketiga, kalau terjadi perselisihan tidak menggunakan hukum nasional, tapi hukum internasional. Dari sini Indonesia diperas habis-habisan,” tegas dia.
Bahkan, dikatakan Inchanuddin, Presiden Joko Widodo saat ini mengulang program deregulasi dan de-birokratisasi pada zaman Soeharto yang notabene kontennya adalah neo-liberalisme.
“Istilah ini (deregulasi dan de-birokratisasi) dipinjam ulang oleh Jokowi. Lalu, konsep Masyarakat Ekonomi Asia itu menjadi pijakan dasar Jokowi semakin kokoh berdiri. Sekarang kita tidak bisa melarang datangnya tenaga kerja asing. Ada kudeta korporasi atas kedaulatan rakyat melalui Omnibus Law,” kata dia lagi.
Pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Ichsanuddin menjelaskan, UU PMA menghapus asas nondiskriminasi. Artinya, tak ada lagi perbedaan antara asing dan domestik.
“Kedua, kebebasan ini menarik keuntungan atau repatriasi. Bebas diambil keuntungan kapan saja. Ketiga, ketika terjadi perselisihan tak boleh menggunakan hukum nasional, tapi menggunakan hukum internasional dengan penilaian terlebih dahulu,” tambah dia lagi.
Di era Presiden Jokowi, UU Cipta Kerja atau Omnibus Law menurut Ichsanuddin, tak hanya mengamputasi daerah, tetapi juga membuat daerah tak berdaya.
“Dia (UU Omnibus Law) tak hanya mengamputasi, tetapi juga mengimpotenkan daerah. Ada pula kesalahan amandemen konstitusi kita khusus pasal 18. Disebutkan bahwa Indonesia ini terbagi atas daerah-daerah, bukan tersusun atas daerah-daerah,” ungkap dia.
Untuk membenahi hal ini, Ichsanuddin menilai, peranan bank sentral harus dikembalikan secara benar. Lalu harus pula dilihat lebih dalam pada tataran hulu, tengah dan hilirnya.
“Hulunya ini harus kita perbaiki dahulu. Hulu diperbaiki, maka kita bicara perimbangan keuangan pusat dan daerah. Berapa layaknya, komoditas apa saja yang dibagi dan lain sebagainya,” jelas dia.
Sementara, tentang kesejahteraan, maka bukan hanya pasal 33 UUD 1945 saja, tetapi juga berkaitan dengan pasal-pasal lainnya. Sebut saja misalnya pasal 23 UUD 1945, baik secara fiskal, moneter, perpajakan dan pemeriksaan.
“Ini harus teraplikasi dalam APBN baik itu fiskal, moneter, perpajakan dan lainnya. Saat ini tidak terkoneksi. Hal itu tidak terjadi alias kosong melompong,” lanjut dia.
Selain pasal 23, relasinya juga ke pasal 27 dimana tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak bagi kemanusiaan. Berikutnya ke pasal pendidikan, kesehatan, perumahan, kebudayan kemudian ke pasal 34, yakni fakir miskin dipelihara oleh negara.
Dikatakannya, dalam Ekonomi Konstitusi, basis fundamentalnya adalah Pasal 33 UUD 1945. Ruang-ruangannya pasal yang tadi. Pilar utamanya adalah semangat para penyelenggara negara, langit-langitnya adalah Pasal 29 dan atapnya Pembukaan UUD 1945. @rif
Registration is closed.