logo
Selamat
Logo
twitter
facebook
instagram
youtube
Minggu, 6 November 2022
05 November 2022
18:00 WIB
Penulis: James Fernando, Gisesya Ranggawari,
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA – Tahun 2023 segera menjelang, tinggal dua bulan lagi ratusan pemerintah kabupaten maupun kota harus menerapkan mandat dari Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terutama Pasal 117 ayat 2. 
Hal yang utama dari mandat beleid itu adalah keharusan mengalokasikan minimal 10% anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Anggaran sebesar itu di luar pembiayaan pegawai.
Pemerintah berharap, alokasi anggaran kesehatan di masing-masing APBD akan mewujudkan pelayanan kesehatan primer dan rujukan yang lebih baik. Alokasi anggaran pun dibatasi dengan mengacu Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Petunjuk Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Bidang Kesehatan Tahun Anggaran 2021.
Ada sejumlah daerah yang sudah mengalokasikan anggaran kesehatan sebelum batas akhir seperti di UU Kesehatan. Data yang dihimpun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerakannya. 
Pada 2020, baru 248 atau (48,8%) daerah yang mengalokasikan anggaran kesehatan sesuai perintah UU. Bahkan, ada beberapa melebihi batas minimal atau melewati 10%. 
Sisanya, yakni sebanyak 260 pemkab/pemkot menyediakan anggaran kesehatan di bawah ketentuan.
Tahun berikutnya, ada 327 atau 65,65 pemkab/pemkot yang menyediakan anggaran kesehatan melewati ketentuan di UU Kesehatan. Jumlah itu mencapai 180 daerah, atau mencakup 34,5%.
Lalu, pada 2022, ada 132 pemerintah kabupaten/kota (26,15%) yang menyediakan anggaran minimal atau lebih dari 10%. Sebaliknya, makin banyak pemda yang menyediakan anggaran kesehatan kurang dari ketentuan. Jumlahnya mencapai 374 atau 73,9% pemerintah kabupaten/kota. 
Terhadap kewajiban ini, Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang, Dini Anggraeni mengatakan, sejak UU Kesehatan berlaku, pemkot langsung menjalankan ketentuan alokasi anggaran kesehatan. Anggaran yang ada digunakan untuk melengkapi seluruh fasilitas kesehatan (faskes) bagi pelayanan layak pada masyarakat Kota Tangerang.
“Minimal, dengan anggaran yang ada, warga Kota Tangerang yang sakit bisa menjalani rawat inap kelas III di rumah sakit umum daerah (RSUD),” terang Dini kepada Validnews, Jumat (4/11).
Pemerintah setempat juga menggunakan anggaran ini untuk memberikan jaminan kepada masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak. 
Setidaknya, masyarakat setempat bisa mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di ruang kelas III. Anggaran ini juga, digunakan untuk membayar upah/gaji para pegawai.
Hal sama diterapkan Pemerintah Kota Bandung, yang menyediakan lebih dari 10% APBD untuk sektor kesehatan. Tahun 2022 saja mencapai 24% dari APBD setara Rp1,4 triliun.
“Kami sebar ke seluruh faskes di Kota Bandung. Ada tiga RSUD di Kota Bandung dan 80 puskesmas,” terang Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung, Anhar Hadian, Jumat (4/11).
Hal yang menjadi sasaran alokasi terbesar adalah anggaran kesehatan untuk RSUD Kota Bandung yang butuh perbaikan besar. Jadi bisa memberikan pelayanan layak ke masyarakat.
Menurut Anhar, hanya RSUD Kiwari dari tiga RSUD yang memiliki pelayanan optimal dengan bangunan yang layak. Dua rumah sakit lainnya masih dalam tahap optimalisasi.
Permainan Anggaran
Terkait anggaran wajib di APBD pada 2023 nanti, pada satu kesempatan di awal Oktober 2022, Wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pamolango di Gorontalo, mengingatkan perlu adanya penguatan sektor kesehatan untuk memitigasi risiko korupsi. Dia mewanti-wanti, anggaran kesehatan masing-masing daerah sekitar 10% dari APBD, rawan untuk dikorupsi.
Nawawi memaparkan, sebelum menjadi keharusan, korupsi aggaran kesehatan setidaknya telah merugikan negara hingga Rp821 miliar. Akumulasi itu tercatat dari 210 kasus dengan 176 pelaku.
“KPK memiliki perhatian khusus terkait korupsi di sektor kesehatan, karena besarnya anggaran kesehatan dan banyaknya perkara tindak pidana korupsi di sektor ini,” jelas Nawawi seperti dikutip dari rilis lembaga anti rasuah itu, Jumat (7/10).
Dia berpendapat, anggaran kesehatan di APBN terus meningkat setiap tahun dan dialokasikan ke pemerintah daerah. Dia pun memberikan contoh tahun 2022 sebanyak Rp180 triliun dianggarkan untuk sektor kesehatan pada seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan pada Jumat (4/11) juga mengulas hal sama, “Paling banyak yang ditangani KPK itu infrastruktur dan pengadaan alat kesehatan karena di situ ada suapnya. Kalau pengadaan obat jarang, karena nilainya kecil,” katanya.
Pahala juga mengingatkan, pemerintah daerah juga mendapatkan alokasi dana kapitasi dari BPJS Kesehatan. Dana kapitasi diberikan pada puskesmas sebagai pengguna anggaran. Sebagian besar, anggaran ini digunakan untuk membayar gaji tenaga medis dan biaya layanan kesehatan lainya.   
Pahala khawatir, anggaran 10% dari APBD tidak diberikan ke puskesmas. Karena puskesmas mendapatkan anggaran yang cukup besar dari BPJS Kesehatan.
Dia menegarai, anggaran dari APBD itu digunakan tak sesuai peruntukannya. Misalnya, untuk membiayai workshop, rapat kerja dan lain-lain. Padahal, anggaran kesehatan justru untuk memperbesar biaya pelayanan kesehatan masyarakat. 
“Bisa jadi, pemerintah daerah melihat, dana kapitasi dari BPJS sebagai subtitusi anggaran 10% ini. Sehingga, tidak turun penuh ke puskesmas,” tambah Pahala.
Karena itu, KPK meminta kepada Kemenkes untuk membuat sistem pengelolaan anggaran 10% dari APBD ini. Sistem ini akan memperkuat pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat daerah dan para auditor lainnya. Dengan begitu, penggunaan anggaran ini sesuai dengan peruntukannya.
Hal senada juga diminata anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Netty Prasetiyani. Dia mengingatkan pemerintah pusat agar tak lepas tangan terkait penggunaan anggaran ini. 
“Kita harus pastikan anggaran 10% ini direalisasikan secara akuntabel dan bertanggung jawab jangan sampai ada perilaku koruptif dalam membangun kualitas kesehatan rakyat,” tutur Netty pada Jumat (4/11).  
Dia menyarankan pemerintah untuk melakukan evaluasi realisasi anggaran tahunan untuk memastikan penggunaan anggaran ini. Harapannya, seluruh biaya yang dikeluarkan oleh negara dijadikan alat untuk menyelesaikan pelbagai masalah kesehatan. 
Mulai dari pemberantasan penyakit menular, pencegahan penyakit tidak menular, penurunan stunting dan edukasi gerakan masyarakat hidup sehat.
“Setiap pembahasan anggaran di DPR, selalu diingatkan pentingnya prinsip spending better,” tandas Netty.
Pendampingan
Apa yang diwanti-wanti banyak pihak, direspons pemerintah. Juru Bicara Kemenkes, Nadia Wiweko memastikan, penggunaan 10% APBD ini mendapatkan pendampingan dari aparat penegak hukum dan para auditor. Hal itu sudah diamanatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar seluruh pelaksanaan pembangunan di daerah didampingi oleh aparat penegak hukum. 
Kadinkes Kota Tangerang dan Plt Kadinkes Kota Bandung menekankan hal sama dilakukan. Mereka kerja sama dengan penegak hukum untuk pengadaan obat-obatan maupun alat kesehatan. Bahkan, Dinkes Kota Bandung kerja sama dengan akuntan publik untuk menggunakan anggaran kesehatan.
Selain itu, ada Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan APIP juga turut mengawasi seluruh penggunaan anggaran kesehatan dari APBD ini.
“Ini karena di daerah, tanggung jawab daerah dan aparat penegak hukum bekerja sesuai kewenangannya termasuk KPK,” kata Nadia, Jumat (4/11).
Nadia menegaskan, pemerintah pusat turut memastikan agar alokasi 10% dari anggaran APBD digunakan dengan baik. Setidaknya untuk penguatan promosi kesehatan dan deteksi dini penyakit. Kemudian, anggaran itu juga ditujukan guna peningkatan kesehatan ibu, anak dan penurunan stunting.
Anggaran ini juga digunakan untuk pencegahan dan pengendalian penyakit menular. Terutama, penanganan tuberculosis (TBC), penanganan human immunodeficiency Virus (HIV) dan penanganan malaria. Pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular serta penguatan jejaring layanan primer, juga menggunakan dana yang sama.
Alokasi anggaran ini juga untuk penguatan sumber daya manusia (SDM) kesehatan. Baik untuk tenaga kesehatan di puskesmas, perawat dan bidan pada entitas posyandu utama hingga pemenuhan tujuh dokter spesialis di RSUD.
Nadia juga mengungkapkan, banyak daerah belum mengalokasikan anggarannya sesuai dengan ketentuan. Alasannya, banyak kebutuhan kesehatan daerah, namun kapasitas fiskal daerah terbatas. Data yang dicatat pemerintah juga menunjukkan, sebagian besar anggaran daerah digunakan untuk membayar gaji pegawai.
Direktur Pengawasan Akuntabilitas Program Lintas Sektoral Pembangunan Daerah BPKP, Arman Sahri Harahap mengamini data itu. Dia menekankan, kehati-hatian terhadap penggunaan anggaran kesehatan ini memang perlu dilakukan. 
Arman menguraikan, BPKP telah mengawasi pelaksanaan penggunaan anggaran di daerah. Pengawasan ini dilakukan BPKP dengan program Agenda Prioritas Pengawasan (APP) dan Agenda Prioritas Pengawasan Daerah (APPD).
Kedua program ini dirancang untuk menghasilkan rekomendasi strategis, sebagai bahan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah kabupaten/kota dalam pengambilan keputusan. 
Untuk masalah kesehatan ini, BPKP mengawasi seluruh kegiatan atau program yang bersumber dari APBN. Khusus untuk APBD, pengawasan penggunaan anggaran merupakan kewenangan dari inspektorat daerah.
BPKP sendiri berperan untuk membantu APIP Daerah dalam meningkatkan kapabilitas agar akuntabel dan transparan. Tujuannya, APIP bisa melakukan peran advisory dan assurance di tingkat daerah masing-masing.
“Juga mengembangkan upaya preemptif dan preventif melalui penerapan SPIP dan Manajemen Risiko termasuk (Fraud Risk Assessment) sebagai early warning system,” kata Arman, Jumat (4/11).
Selain penggunaan anggaran untuk yang tak tepat sasaran, sejatinya persoalan celah korupsi juga menyangkut pengadaan. KPK juga mencermati. 
Deputi Pencegahan KPK mengungkapkan, telah merekomendasikan kepada pemerintah pusat dan daerah agar seluruh pengadaan alat kesehatan hingga obat-obatan dilakukan dengan membeli dari e-katalog yang dikelolah oleh Kemenkes.
Dalam e-katalog yang dikelola Kemenkes itu ada obat-obatan generik dan alat kesehatan lain. Harga yang tercantum di e-katalog itu pun telah sesuai dengan standar nasional. E-katalog ini bisa memperjelas laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran dari APBD itu dengan baik.   
Hal ini untuk menghindari adanya proses tender dalam pengadaan faskes dan obat-obatan ini. Kajian yang dilakukan oleh KPK sebelumnya, menyimpulkan bahwa pengadaan dengan proses tender ini berdampak pada praktik suap dari pihak pemerintah maupun swasta.
“Kalau ditender itu sudah pasti ada komisinya,” tukas Pahala.
Bagikan ke:
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on LinkedIn
Share on Whatsapp
Silahkan login untuk memberikan komentar

Login atau Daftar
Tentang kami
Redaksi
Pedoman Media Siber
Disclaimer
Privacy Policy
Kontak
©Validnews 2022 All rights reserved.

source