Epidemiolog memperkirakan kasus gagal ginjal akut masih akan meningkat dalam beberapa hari ke depan mengingat adanya laporan dari daerah yang baru masuk ke pusat.
Senyawa berbahaya dalam kandungan beberapa obat batuk sirop diduga menjadi penyebab kasus gagal ginjal akut pada anak hingga sebagian besar dari penderita meninggal dunia. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mulai menangani kasus gagal ginjal akut sejak Januari 2022 dengan adanya dua kasus, tapi kasusnya meningkat tajam sejak Agustus.
Kemenkes telah meminta seluruh apotek untuk sementara menghentikan penggunaan dan peredaran obat dalam bentuk cair atau sirop di masyarakat per 18 Oktober sampai ada kepastian. Namun, belakangan pemerintah kembali mengeluarkan izin penggunaan 156 obat sirop oleh konsumen.
Epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, memperkirakan kasus gagal ginjal akut masih akan meningkat dalam beberapa hari ke depan karena adanya laporan dari daerah yang baru masuk ke pusat.
“Jangan kaget kalau angkanya terus meningkat karena banyak teman-teman daerah yang baru melapor. Diperkirakan akan menurun dalam dua minggu sampai sebulan lagi karena masyarakat sudah aware akan hal ini,” ujar Masdalina Pane kepada DW Indonesia.
Berdasarkan data Kemenkes per 24 Oktober, terdapat 255 laporan kasus yang berasal dari 26 provinsi di Indonesia. Setidaknya 143 pasien atau 56% dari total kasus, dilaporkan meninggal dunia. “Ini kasus lama yang baru dilaporkan. Bukan kasus baru,” ujar Juru Bicara Kemenkes M. Syahril dalam konferensi pers, Selasa (25/10).
Lonjakan itu terjadi karena diduga ada cemaran pelarut kimia seperti etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE) pada obat tertentu.
DPR dan Ombudsman juga telah meminta pemerintah menetapkan kasus gagal ginjal akut anak sebagai kejadian luar biasa (KLB). Namun, pemerintah belum memutuskan penerapan KLB karena gagal ginjal bukan penyakit menular.
Minggu lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menarik peredaran lima merek obat karena mengandung EG dan DEG melebihi ambang batas aman. Kelima merek obat tersebut yakni Termorex Syrup produksi PT Konimex, Flurin DMP dari PT Yarindo Farmatama, dan Unibebi Demam Sirup, Unibebi Cough Sirup serta Unibebi Demam Drop yang diproduksi oleh Universal Pharmaceutical Industries.
Beredarnya informasi gagal ginjal akut menimbulkan kekhawatiran khususnya bagi para ibu yang memiliki anak balita, salah satunya yakni Elvya Dea, 26. Ia mengaku kaget mendengar pemberitaan ini, pasalnya ia memiliki anak dengan riwayat prematur berusia 18 bulan. Ibu asal Malang, Jawa Timur, itu tidak menyangka ada kandungan berbahaya dalam obat-obatan yang diberikan oleh dokter dan tersedia bebas di apotek.
Saat mendengar informasi ini, ia segera menghentikan segala konsumsi obat atau vitamin dalam bentuk sirop yang dirasa tidak begitu penting. “Kenapa kok baru sekarang BPOM rilis obat yang sebelumnya dapat izin, eh ngga taunya ada bahan yang bahaya,” kata dia. 
Kecemasan juga melanda Meirissa Ramadhani, 35, karena ia kerap memberikan obat sirop kepada anaknya jika sakit. Obat langganannya adalah merek Unibebi yang merupakan salah satu obat yang diduga tercemar.
“Ya was-was juga tapi sudah terjadi mau bagaimana lagi, kita tidak tahu itu ada bahan berbahaya. Yang bisa dilakukan sekarang adalah menjaga imun dengan tidak jajan, banyak di rumah dan makan sehat,” ujarnya.
Epidemiolog dari Griffith University di Australia, Dicky Budiman, menilai apabila benar penyebab gagal ginjal akut adalah karena temuan kandungan etilen glikol yang melebihi standar, ini dapat berarti ada kesalahan dalam pengawasan mutu obat.
“Ada kesalahan atau lemah dan bahkan buruknya quality control dari mutu obat karena ini kok bisa sampai lolos padahal terjadi kasus dari awal 2022,” kata dia kepada DW Indonesia. Ia khawatir produk obat ini diedarkan di era pandemi di saat sedang tinggi-tingginya permintaan obat akibat gejala COVID-19.
“Harus ditelusuri kenapa harus menurun pengawasan mutu obat di era pandemi apakah kebutuhan obat banyak jadi mengakibatkan penurunan mutu atau ada kelemahan sistem padahal akibat fatal,” ujar Dicky Budiman. Lebih lanjut ia pun prihatin bahwa banyak dari obat tersebut yang dijual bebas tanpa harus ada resep dokter.
Sementara Masdalina Pane dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia menyayangkan respon pemerintah yang dinilai lambat. Pane meminta pemerintah untuk tidak mengesampingkan adanya penyebab lain gagal ginjal akut selain EG dan DEG. Hal ini karena senyawa tersebut tidak hanya terkandung dalam obat batuk sirop, tetapi juga dalam produk makanan, minuman, obat dan barang plastik.
“Gagal ginjal tak hanya disebabkan keracunan obat, namun juga beberapa hal lainnya. Obat ini sudah ada puluhan tahun dan tidak hanya korban yang meminum. Bagaimana dengan anak-anak lainnya yang pernah minum, kenapa bisa tidak kena? Apakah benar obat batuk yang sebabkan gagal ginjal? Ini perlu diteliti menyeluruh,” ujar Pane.
Kepala BPOM, Penny Lukito, pada Senin (24/10) mengatakan Kepolisian RI (Polri) tengah menyelidiki dua perusahaan farmasi terkait kasus gagal ginjal akut yang nantinya akan mengarah ke ranah pidana.
“Kedeputian bidang penindakan dari BPOM sudah kami tugaskan untuk masuk ke industri farmasi tersebut bekerja sama dengan kepolisian dan akan segera melakukan penyidikan untuk menuju pada perkara pidana,” kata Penny Lukito dalam konferensi pers di Istana Presiden.
Kedua perusahaan farmasi ini diduga memproduksi obat dengan kandungan EG dan DEG yang tinggi dan mengedarkan atau menjualnya ke masyarakat sehingga mengakibatkan gagal ginjal akut pada anak.
“Ada indikasinya bahwa kandungan dari EG dan DEG di produknya itu tidak hanya dalam konsentrasi sebagai kontaminan tapi sangat-sangat tinggi, dan tentu saja sangat toxic dan itu bisa cepat diduga bisa mengakibatkan ginjal akut dalam hal ini,” jelas Penny tanpa menyebut nama dua perusahaan itu.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengingatkan kepada seluruh jajarannya di pemerintahan bahwa kasus gagal ginjal akut ini bukanlah masalah kecil dan harus mendapatkan perhatian segera.
Pemerintah mengklaim telah menemukan antidot atau obat penawar racun untuk kasus gangguan gagal ginjal akut dengan mendatangkan fomepizole dari Singapura sebanyak 10 vial dan 16 vial dari Australia. Nantinya, Kemenkes juga akan mendatangkan fomepizole dari Jepang dan Amerika Serikat sebanyak 200 vial.
Juru Bicara Kemenkes M. Syahril mengatakan obat ini dinilai ampuh menyembuhkan pasien penyakit gagal ginjal akut. Sepuluh dari 11 pasien penderita dinyatakan membaik usai mengonsumsi fomepizol. “Tidak ada pemburukan, beberapa sudah mengeluarkan air seni. Dari hasil laboratorium juga kadar etilen glikol di 10 pasien tersebut sudah tidak terdeteksi,” kata Syahril. (ae)

source