logo
Selamat
Logo
twitter
facebook
instagram
youtube
Kamis, 26 Mei 2022
24 Mei 2022
21:00 WIB
Penulis: Rheza Alfian, Khairul Kahfi, Wiwie Heriyani,
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Keinginan untuk menghentikan ketergantungan pada negara lain terus menerus didengungkan pemerintah dari waktu ke waktu dalam beragam bentuk. Ada berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri yang disuarakan Bapak Bangsa Sukarno. Ada pula swasembada pangan pada masa Presiden Suharto.
Terkini, upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor kerap dilontarkan Presiden Joko Widodo. Bahkan, Presiden ketujuh RI itu menjadikan setop impor sebagai salah satu isu sentral dalam kampanyenya.
Dalam beberapa kesempatan, Jokowi, sapaan orang nomor satu itu, terlihat marah menyoal impor. Ia menilai, tak seharusnya Indonesia masih terus mengimpor produk atau komoditas yang bisa diproduksi sendiri.
Salah satu momen itu adalah saat ia memerintahkan 40% APBN, APBD dan anggaran BUMN dibelanjakan untuk menyerap barang-barang buatan dalam negeri.
“Tadi sudah dihitung, bisa membuka 2 juta lapangan pekerjaan. Kalau ini tidak dilakukan, sekali lagi, bodoh banget kita ini,” kata Presiden dalam pertemuan dengan para gubernur di Indonesia yang diadakan di Bali, Jumat (25/3), dikutip dari Antara.
Hitungan Jokowi bila 40% anggaran BUMN dialokasikan untuk berbelanja produk dalam negeri, pertumbuhan ekonomi bisa naik 0,4%. Dengan alokasi yang sama dari APBN dan APBD, ekonomi akan terdongkrak 1,7%. Alokasi anggaran itu juga disebut bisa membuka 2 juta lapangan pekerjaan.
Soal impor, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama Januari–April 2022 yang didatangkan dari luar negeri didominasi oleh bahan baku/penolong. Nilainya mencapai US$59,21 miliar atau 77,33% dari total impor sepanjang periode tersebut. Dibandingkan Januari–April 2021, impor bahan baku/penolong tumbuh 25,51%.
Barang modal menduduki peringkat dua, dengan nilai US$11,06 miliar atau 14,45% dari total impor Januari–April 2022. Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, impor barang modal naik 15,16%.
Impor barang konsumsi ada di urutan buncit dengan nilai US$6,29 miliar atau 8,22% dari total impor. Angka ini tumbuh 4,21% dibandingkan Januari–April 2021.
Dari kelompok bahan baku/penolong yang kerap diimpor, terselip lima subsektor industri yang jadi penggerak perekonomian, yakni tepung selain tepung gandum dan meslin, daging/makanan hewan olahan, gula, pupuk dan bahan kimia dasar.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan kelima subsektor tersebut memiliki keterkaitan dengan hilir lebih kuat ketimbang hulu. Ini menunjukkan ketergantungan pada impor.
Meski bisa menghasilkan sendiri lima komoditas tersebut, kecuali tepung terigu karena gandum sulit tumbuh di Indonesia, toh impor tetap dilakukan untuk menambal kekurangan produksi.
Berdasarkan data impor Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2022, nilai impor daging yakni senilai US$89,31 juta dengan volume mencapai 27,54 ribu ton. Sementara itu, untuk tepung dan produk olahannya memiliki nilai impor US$58,9 juta dengan volume 18,72 ribu ton.
Selanjutnya, nilai impor gula dan kembang gula mencapai US$448,18 juta dengan volume mencapai 867,7 ribu ton. Pupuk memiliki nilai impor US$376,18 juta dengan berat impor 764,29 ribu ton. Terakhir, impor bahan kimia anorganik sebesar US$269,75 juta dengan volume 400,17 ribu ton.
Tiga Besar Dunia
Dari beragam bahan pangan warga negara, tepung terigu kini menjadi bahan baku utama dari sejumlah bahan pangan favorit.
Konsumsi terigu pun disebut Kementerian Perdagangan meningkat, nyaris tak tergantikan. Terigu belakangan jadi makanan pengganti nasi. Mulai dari mi instan, pasta, pizza hingga panganan lain menggunakan terigu. Aneka gorengan dan camilan yang disuka beragam usia, tak jauh dari terigu.
Senada, hasil kajian Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA) pada tahun 2014, yang diperbaharui oleh APTINDO, menyebutkan industri tepung terigu berkembang cukup pesat yang didukung oleh meningkatnya konsumsi terigu nasional. Komoditas ini berperan penting dalam ketahanan pangan nasional.
Masih dari hasil kajian IRSA, penggunaan terigu semakin menggeser konsumsi beras sebagai pangan pokok.
Rata-rata konsumsi makanan mengandung beras turun dari 2,1 kg menjadi 1,9 kg beras per minggu, atau dari 107,7 kg (2002) menjadi 97,4 kg (2013) per tahun. Penurunan tingkat konsumsi beras tersebut sebagian disebabkan karena peningkatan konsumsi makanan berbasis tepung terigu.
Dengan konsumsi yang terus merangkak naik, Indonesia pun menjadi importir terbesar gandum di dunia. Di sisi lain, iklim di Indonesia yang tropis tak mendukung pembudidayaan tanaman gandum yang cocok tumbuh di iklim subtropik.
Walhasil, kebutuhan bahan baku tepung terigu berupa biji gandum masih harus didatangkan dari negara produsen gandum dunia seperti Amerika Serikat, Argentina, Ukraina, Brazil, dan Australia.
Kondisi ini tak ujug-ujug terjadi. Lembaga penyedia data Statista menunjukkan sejak 2014/2015, Indonesia sudah menjadi negara kedua terbesar pengimpor gandum, terigu dan produk turunan. Pada periode tersebut, impor Indonesia sebesar 7.47 juta ton, hanya kalah dari Mesir sebesar 11,3 juta ton.
Tahun 2015/2016, impor gandum dan terigu Indonesia melonjak ke kisaran 10 juta ton atau sekitar 6% dari total impor dunia. Angka tetap berada di kisaran 10 juta ton hingga 2019/2020. Namun, pada 2019/2020, posisi Indonesia digeser Turki hingga menjadi importir ketiga terbesar dunia.
Mengutip BPS, tahun 2012–2017, Australia menjadi negara terbesar penyuplai gandum ke Indonesia. Sebesar 50-60% gandum di Indonesia, berasal dari Negara Kangguru itu. Negara pemasok utama lainnya adalah ukraina, Kanada dan AS.
BPPP Kemendag menyebutkan, impor tepung terigu yang dilakukan oleh Indonesia meliputi tepung terigu yang difortifikasi maupun tidak difortifikasi serta tepung meslin yang masuk ke dalam kode HS 1101001010 (Wheat flour fortified), 1101001090 (Wheat flour nonfortified), dan 1101002000 (Meslin flour). Sebagian besar impor tepung terigu ini dalam bentuk tepung belum terfortifikasi yang masih memerlukan pengolahan lebih lanjut di dalam negeri.
Sistem distribusi tepung terigu dibedakan antara tepung terigu produksi domestik dan tepung terigu impor. Pada umumnya, tepung terigu produksi domestik dikirim langsung secara langsung ke distributor. Distributor mendistribusikan lagi ke pedagang besar, pedagang grosir, agen, pasar swalayan atau melalui operasi pasar.
Sementara itu, sistem distribusi tepung terigu asal impor relatif lebih sederhana dibandingkan dengan tepung terigu produksi domestik. Sejak dibebaskan sistem tata niaganya, tepung terigu dapat langsung diimpor oleh importir umum. Mereka lah yang kemudian mendistribusikan kepada konsumen.
APTINDO mencatat, sekitar 80% dari total impor terigu tersebut diserap oleh importir pedagang, dan sisanya sekitar 20% diserap oleh importir produsen. Kemudian importir pedagang menjual tepung terigu impor itu kepada industri pangan modern non-importir sekitar 70% dan 10% dijual kepada importir produsen.
Terancam Perang
Dengan ketergantungan tinggi, gejolak di pasar terigu global mau tak mau menggoyang pasar dalam negeri.
Pantauan Kemendag, komoditas tepung terigu di tingkat nasional per 16 Mei 2022 dijual berkisar Rp11.500/kg. Jika dibandingkan awal Mei, harga tepung terigu naik tipis 2,68% atau setara Rp300, di level Rp11.200/kg.
Harga terigu pun telah naik sejak pecah perang di Ukraina. Maklum, dua pihak yang bertikai, yakni Rusia dan Ukraina, adalah produsen gandum dan terigu dunia. Keduanya menyumbang 27% pasokan gandum dunia.
Masalah kian pelik, saat India mengamankan pasokan dalam negeri dan melarang ekspor terigu. Belakangan, Indonesia juga mendatangkan terigu dari negara ini. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi bahkan menyebut, sepertiga kebutuhan terigu Indonesia dipenuhi dari India.
Pemerintah, sambung Lutfi, tengah mempelajari dampak larangan tersebut. Ia pun belum melihat keputusan India yang menahan ekspor gandum akan mengerek harga terigu di dalam negeri. "Kita punya stok (tepung terigu) untuk tiga bulan secara aman. Kita berprinsip habis tiga bulan ini baru kita omongin," kata Mendag, Jakarta, Selasa (17/5).
Di tengah ketergantungan yang cukup besar, Ekonom Center of Food Energy and Sustainable Development Indef, Rusli Abdullah menilai, impor terigu belum menjadi masalah serius. Dia berarguman, kebutuhannya tidak semelonjak beras yang menjadi sebagai salah kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
“Secara umum kita enggak ada masalah dengan impor pangan. Kalau kita lihat dari perspektif bahan makanan pokok kita beras. Karena apa, karena beras kita surplus 2018, 2019, 2020, 2021 itu surplus,” ujar Rusli, saat dihubungi Validnews, Senin, (23/5).
Meski begitu, menurutnya, ketergantungan terhadap impor gandum di Indonesia perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Dia mengamini, produk olahan tepung terigulah berkembang menjadi salah satu bahan makan substitusi bahan makanan pokok beras.
“Celakanya, gandum itu salah satunya untuk mie instan, itu kadang-kadang masih menjadi pengganti beras ketika misalnya ada orang miskin harus bertahan hidup enggak ada beras, jadi mi instan,” ungkapnya.
Gerakkan UMKM
Soal ketergantungan ini, memang nyata. IRSA mencatat, industri tepung terigu berperan penting dalam perkembangan industri makanan dan minuman. Sekitar 70% produk tepung terigu produksi dalam negeri digunakan oleh UMKM pangan. Sebagaimana diketahui, selama 2011-2020, industri makanan dan minuman selalu tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan total PDB dan pertumbuhan total sektor industri.
Tercatat, selama 2011–2019, industri makanan dan minuman tumbuh rata-rata 8,4% per tahun. Sementara itu, total PDB dan total sektor industri masing-masing hanya tumbuh rata-rata 5,3 dan 4,6% per tahun.
Bahkan, selama pandemi 2020, ketika perekonomian mengalami kontraksi 2,1% dan sektor industri secara keseluruhan mengalami penurunan 2,9%, sektor industri makanan dan minuman masih dapat tumbuh 1,6%.
Oleh karena itu, pemerintah dinilai perlu kembali menggalakkan program diversifikasi pangan. Masyarakat sebaiknya tidak terkonsentrasi mengonsumsi sedikit komoditas pangan pokok, seperti beras maupun terigu. Program diversifikasi pangan diarahkan untuk mengembangkan produksi pangan pokok berbasis komoditas lokal dan juga edukasi terhadap masyarakat di sisi hilirnya.
Tambal Kebutuhan
Tak jauh berbeda dengan terigu, kebutuhan daging nasional juga ditambal impor. Kementerian Pertanian memperkirakan kebutuhan impor daging sapi/kerbau pada 2022 bisa mencapai 266.065 ton.
Secara umum, jumlah impor tersebut turun 6,4% dibandingkan dengan realisasi impor daging kerbau/sapi pada 2021 yang sebesar 284.277 ton. Impor tahun ini termasuk untuk cadangan stok sebesar 58.866 ton.
Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Nanang Purus Subendro mengatakan, kebutuhan daging sapi dalam negeri memang cukup tinggi, mencapai 700 ribu ton dalam setahun. Namun, konsumsi yang tinggi terhadap daging sapi nyatanya tidak diimbangi dengan produksi daging sapi dalam negeri yang kurang lebih hanya sekitar 420-430 ribu ton.
“Jadi memang sisa itu terpaksa ditutupi dengan importasi daging atau importasi sapi hidup,” ujar Nanang, saat dihubungi Validnews, Senin, (23/5).
Dikutip dari laman resmi Kemendag, ketergantungan yang sangat tinggi pada impor bukan hanya karena masalah tidak signifikannya pertumbuhan populasi. Ada juga karena ketersebaran produksi, dan pola pengembangan ternak di beberapa daerah juga turut mempengaruhi.
Beberapa contoh misalnya produksi sapi Bali, Madura dan persilangannya saat ini hanya sekitar 37%. Kedua jenis sapi tersebut menyebar di seluruh provinsi terutama Bali, NTB dan NTT.
Walaupun demikian, sapi-sapi tersebut kurang mendapat pemeliharaan dan manajemen yang baik. Di peternakan, sapi-sapi itu bahkan sangat miskin sentuhan teknologi terutama dalam manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan.
Ini menyebabkan perusahaan skala besar sulit mendapatkan sapi bakalan dari dalam negeri, baik dalam hal jumlah maupun mutu. Oleh karena itu, Indonesia mendorong impor sapi bakalan dengan melakukan deregulasi, membebaskan tarif impor sapi bakalan.
Ironisnya, kondisi ini justru perlahan namun pasti mematikan usaha peternakan rakyat. Bervariasinya pola transaksi jasa angkutan di berbagai daerah berimplikasi pada variasi besaran tarif angkutan juga, sehingga menyulitkan penghitungan biaya produksi (harga pokok, biaya usaha, biaya pemasaran) dan kalkulasi margin.
Perebakan wabah penyakit mulut dan kuku (PMK), juga diduga sebagai dampak ketergantungan pada impor daging. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menduga kemunculan PMK berasal dari luar Indonesia, mengingat virus ini tidak mampu bertahan lama. Sebenarnya, sejak 1990-an, Indonesia sudah bebas PMK setelah berusaha dengan keras puluhan tahun untuk mengatasi wabah ini.
"Virus PMK ini muncul diduga karena impor daging, sapi dan ternak lainnya yang meningkat, dari negara-negara yang masih ada zonasinya wabah PMK," kata Henry lewat keterangan yang diterima, Jakarta, Kamis (12/5).
Kebijakan impor ini, tuturnya, didukung oleh UU No 41/2014 tentang Perubahan Atas UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. SPI menilai, beleid tersebut semakin memperluas kebijakan importasi ternak di tengah ketergantungan pada impor ternak dan produk ternak yang sudah tinggi.
Nanang mengungkapkan masalah lain. Ia menilai, ketergantungan impor yang kerap terjadi di Indonesia merupakan salah satu dampak turunnya animo masyarakat untuk menjadi peternak. Sensus BPS pada 2017-2018 mencatat sekitar 56% peternak yang masih eksis di Indonesia justru sudah berusia lansia, 50 tahun ke atas.
Faktor selanjutnya yakni karena keterbatasan lahan untuk pertanian dan peternakan. Lahan semakin tergerus dengan industri dan properti.
“Nah, kenapa di Australia bisa membiarkan (sapi), apakah orang Indonesia kurang pinter? Tapi situasi geografis di Australia lahannya memang jauh lebih longgar untuk membuat sistem padangan, di mana sapi dilepas dalam 1 hektare biasanya hanya diisi 2-4 ekor dan rata-rata 3 ekor. Nah, bisa dibayangkan Indonesia bagaimana dengan luasan untuk menaruh 3 ekor sapi di lahan 1 hektare? Karena pembiakan hanya bisa berjalan jika ada sumber pakan yang murah,” terangnya.
Ada faktor berikutnya yang menyebabkan industri peternakan Indonesia kurang maju. Lebih dari 52% jumlah sapi yang ada di Indonesia justru dimiliki oleh peternak kecil dengan kepemilikan 1-3 ekor sapi. Pun, menurut Nanang, di Indonesia profesi peternak kebanyakan hanya dijadikan sampingan atau bukan menjadi profesi utama. Di negara lain, seperti di New Zealand atau Australia, peternak adalah profesi bergengsi.
Dia menyerukan, target pemerintah selayaknya bukan hanya swasembada daging. Justru dengan menyejahterakan pelaku usahanya, kemudian swasembada daging diraih.
“Ketika peternak sejahtera, kepemilikan akan bertambah, jumlah peternak juga otomatis akan bertambah karena kesuksesan inspirasi calon peternak,” katanya.
Bagikan ke:
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on LinkedIn
Share on Whatsapp
Silahkan login untuk memberikan komentar
Login atau Daftar
Tentang kami
Redaksi
Pedoman dan Siber
Disclaimer
Privacy Policy
Kontak
©Validnews 2022 All rights reserved.