Sejujurnya imajinasi kita tentang Garuda Indonesia Airways (GIA) bukan sekedar maskapai. Garuda Indonesia sejak awal didirikan tahun 1948 menjadi bagian penanda penting peralihan kekuasaan dari era kolonial menjadi nasional. Bayangkan, di usia Republik kurang dari 10 tahun, dan usia Garuda Indonesia baru berumur 5 tahun, perusahaan telah memiliki 27 pesawat dengan staf staf yang profesional.
Penerbangan pesawat pesawat GIA ke jalur internasional sejak 1960 menjadi tonggak yang amat penting. Penerbangan internasional itu ikut melambungkan nama Indonesia pada peta dirgantara Internasional.

Sementara penerbangan di dalam negeri di era itu bukan sekedar memperkuat jalur bisnis dan jasa, tetapi juga mempertemukan warga seantero nusantara dengan mudah dan cepat. Dua misi inilah yang mendasari didirikannya Garuda Indonesia sejak awal, sehingga tata kelolanya adalah kombinasi antara bisnis dan kepentingan strategis negara.
Sayangnya dalam banyak perjalanan GIA dari sisi bisnis tidak terkelola dengan baik. Kita ingat saat GIA di “piloti” oleh Wiweko Supono pada rentang 1968-1984. Maskapai plat merah ini mendapatkan previlage yang begitu besar secara langsung dari Presiden Soeharto. Karena keistimewaan ini, banyak maskapai swasta dalam dan luar negeri tidak bisa bersaing dengan GIA. Era Wiweko Supono yang memperoleh previlage mewariskan cash di GIA hingga 108 juta USD. Namun karena gemuknya GIA era ini mengakibatkan over investasi, dan lambat laun banyak pesawat yang hanya parkir, terlebih perusahaan tidak bertransformasi cukup baik.
Ketika era liberalisasi industri penerbangan dilakukan pada tahun 2000 an, dilakukan segenap paket kebijakan deregulasi oleh pemerintah, dan banyak maskapai penerbangan swasta masuk, GIA makin banyak kompetitor.
Rute rute gemuk yang semula di monopoli Garuda Indonesia mulai tergerus oleh maskapai pesaing, bahkan kehadiran layanan Low Cost Carrier (LCC) menandakan GIA terlambat membaca segmen ini, meskipun pada akhirnya GIA membuat Citilink di kelas LCC. Masa ini menjadi pembuktian betapa keistimewaan yang dimiliki Garuda Indonesia malah berbuah petaka dari kemampuan kompetisi dari sisi bisnis.
Nasib lebih tragis dialami oleh GIA pada rute rute internasional. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017 menyampaikan 28 rute internasional yang dimiliki GIA bukanlah slot yang menjanjikan. Bahkan rute Jakarta ke London via Singapura pada periode Maret – Juli 2016 menjadi beban perusahaan dengan kerugian mencapai 16,43 juta USD. Kemampuan GIA dalam bersaing di rute rute tersebut juga rendah karena inefisiensi dan kebijakan di dalam negeri yang kurang mendukung.
Kebijakan GIA yang mendatangkan pesawat Bombardier CRJ-1000 tahun 2012 dan pesawat wide body Boeing B777-300 ER tahun 2013 adalah contoh aksi korporasi yang tidak diperhitungkan dengan baik. Sedianya pengadaan kedua jenis pesawat itu untuk menopang kebijakan Master Plan Percepatan dan Peluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. CRJ1000 tidak cukup mempuni mendarat di landasan yang pendek dari bandara bandara kecil, ditambah isian penumpang yang sedikit. Akhirnya perannya digantikan pesawat jenis ATR72-600 yang sedianya untuk Citilink. Sementara niat untuk bersaing di rute internasional dengan Boeing B777-300 ER ternyata tidak membuat GIA mempuni, dan munculah temuan temuan BPK di tahun 2017 diatas.
GIA begitu beruntun dirundung masalah, korupsi juga menjadi “awan cumulonimbus” bagi GIA. Penegak hukum setidaknya telah membuktikan tindak pidana korupsi dan pencucian uang oleh oknum petinggi GIA saat pengadaan pesawat CRJ1000 dan Airbus A330 300/200. Belakangan Kementerian BUMN melaporkan juga kasus dugaan korupsi dalam pengadaan ATR72 600 oleh oknum yang sama.

Mencermati laporan keuangan Garuda Indonesia (GIA) September 2021 (unaudited), total aset GIA mencapai 9,42 miliar USD, menurun 1,36 miliar jika dibandingkan dengan September 2020 yang mencapai 10,78 miliar USD. Penurunan aset GIA berbarengan dengan peningkatan liabilitas dari 12,73 miliar USD pada september 2020 menjadi 13,02 miliar di September 2021. Kita patut sedih, Garuda Indonesia tercinta terus mengalami kerugian beruntun dan terus meningkat. Pada September 2020 kerugian usaha yang dialami Garuda Indonesia mencapai 1,1 miliar USD dan terus meningkat pada September 2021 sebesar 1,65 miliar USD.
Sejak IPO dengan melepas sahamnya ke publik sebesar 54,67 persen pada 11 Februari 2011, saham GIAA tidak banyak menunjukkan performance yang baik. Pada pelepasan saham perdana saat melantai di BEI 11 Februari 2011, saham GIAA dihargai Rp750. Saham GIAA menuju puncak tertinggi saat menutup perdagangan 17 Juli 2012 di Rp. 770, setelah itu cenderung turun. Pada periode 2015 hingga 2019 saham GIAA tertinggi di 15 Januari 2015 sebesar Rp. 650 per lembar saham. Setelah itu saham GIAA cenderung turun, terendah di 18 Oktober 2018 yang mencapai Rp. 202 per lembar saham. Saham GIAA sempat rebound pada Oktober 2019 menyentuh Rp. 590, namun setelah itu cenderung turun.
Pada periode 2020-2022 saham GIAA dibuka di ujung tahun 2020 menjadi Rp. 400 per lebar saham. Disepanjang tahun 2020 saham GIA hanya mencatatkan kinerja tertinggi Rp. 430 di Desember 2020. Nasib tragis dialami emiten dirgantara kita ini, sepanjang Juli-September 2021 saham GIAA di harga Rp. 0. Hal ini terjadi lantaran pihak berwenang di BEI melakukan suspend penjualan saham GIAA. GIA memiliki kewajiban pembayaran sukuk sebesar 500 juta USD setara Rp. 7,2 triliun yang jatuh tempo 3 Juni 2021, dari total utang GIA yang mencapai 9,78 miliar USD atau Rp 138,88 triliun. Sebelum masuk periode suspend, perdagangan terakhir saham GIAA menyentuh Rp. 222 per lembar saham.
Kebijakan suspend ditempuh oleh BEI dikarenakan GIA tidak mampu membayar utang dalam bentuk sukuk tersebut yang telah jatuh tempo. Masa suspend bisa berlangsung selama 24 bulan sebagai waktu darurat bagi GIA untuk memperbaiki keuangannya. Pada Desember 2021 lalu BEI telah mewanti wanti potensi saham GIAA dilakukan delisting jika hingga masa suspend usai tetapi GIA tidak kunjung menunjukkan perbaikan usahamya.
Sebelum menempuh kebijakan suspend saham GIAA, BEI sebenarnya telah melakukan pemantauan dan memberi notifikasi. Langkah ini dilakukan akibat kinerja keuangan yang kurang baik, otoritas di bursa saham membuat pengawasan khusus emiten berkode GIAA. Otoritas di BEI menyematkan kode notifikasi untuk saham GIAA pada tahun lalu. Notifikasi berkode M, E, D, L, dan X. Notasi khusus tersebut dapat dipantau melalui situs web resmi BEI. Notasi khusus M menunjukkan adanya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap perusahaan dan notasi E diberikan karena laporan keuangan terakhir menunjukkan ekuitas negatif. Sedangkan, notasi D karena adanya opini “Tidak Menyatakan Pendapat (Disclaimer)” dari akuntan publik, serta notasi L karena perusahaan tercatat belum menyampaikan laporan keuangan, dan notasi X diberikan karena saham GIAA berada dalam Pemantauan Khusus.

Melihat kondisi GIA yang sedemikian menyedihkan ini, penyelamatan GIA menjadi amat penting. Bahwa kita memandang dan memiliki perasaan terhadap GIA sebagai “national pride” itu sangat penting. Namun kita juga harus tetap rasional bahwa kita perlu meletakkan penyelamatan GIA dalam koridor dan hitung hitungan bisnis.
Jalan terberat bagi GIA untuk membenahi usahanya adalah restrukturisasi utang, Pemerintah memperkirakan proses restrukturisasi yang akan dilakukan ini diperkirakan membutuhkan dana mencapai US$ 1 miliar-US$ 1,4 miliar (Rp 14,2 triliun-Rp 19,88 triliun, asumsi kurs Rp 14.200/US$) dari pemegang sahamnya. Pemerintah tidak bisa menyuntik modal GIA melalui skema Penanaman Modal Negara (PNM) sebab GIA telah menjadi perusahaan publik, meskipun pemerintah masih memegang saham mayoritas.
Saya berharap pemerintah dan pemegang saham besar lainnya membantu proses restrukturisasi utang GIA. Wacana Wakil Menteri BUMN II untuk mempailitkan GIA bila restrukturisasi utang gagal dan menggantikannya dengan PT Pelita Air Service dalam hemat saya kurang tepat. Pernyataan Chairul Tanjung, Chairman CT Corp yang juga pemilik saham GIAA sebesar 28,2 persen yang menyatakan akan menyuntikan modal ke GIA paska restrukturisasi harusnya disambut oleh Kementerian BUMN. Paling jelek, pelepasan sebagian saham pemerintah di GIA untuk mendorong masuknya investor baru lebih masuk akal mempertahankan eksistensi GIA ketimbang membuatnya pailit. Tentu secara teknis pelepasan saham ini harus dicari jalan keluar regulasinya sebab posisi perdagangan saham GIAA sedang ter-suspend.
Selain itu, dengan komitmen pemerintah dan CT Corp untuk menolong GIA sesungguhnya ini modal yang baik bagi GIA untuk membuat komitmen baru yang win win solution dengan pihak lessor dan lender. Akan sangat baik bila Direksi GIA berhasil melakukan lobi untuk haircut utang. Memang harus kita akui langkah agresif beberapa lessor ini ikut mempercepat pemburukan keuangan GIA. Kedepan GIA perlu hati hati memilih lessor dan lender, terutama yang tidak begitu kooperatif. Akibat perilaku koruptif GIA di masa lalu, saat ini GIA menanggung beban aircraft rental cost perusahaan mencapai 24,7% dari pendapatan perusahaan. Angka itu sangat tidak efisien, jauh diatas maskapai penerbangan lainnya.
Pararel dengan negosiasi dan proses restrukturisasi utang GIA, Direksi GIA perlu membuat banyak terobosan untuk meningkatkan pendapatan perusahaan. Tidak ada perusahaan airline di dunia yang hanya mengandalkan pendapatan dari traffic penumpang alias jualan tiket saja. Kita harapkan Direksi GIA merumuskan value creation dengan membedah ekosistem bisnis yang mempu mengembangkan lini usaha yang pararel dengan core bisnis.
Terakhir, saya berharap pemerintah memberikan dukungan kebijakan fiskal kepada GIA. Kementerian BUMN bisa membicarakan dengan Kementerian Keuangan terkait beberapa hal, seperti penundaan pembayaran pajak, penundaan pembayaran atau pemotongan beban bunga di bank bank Himbara, atau jalan lain yang tidak melanggar hukum, termasuk penundaan pembayaran avtur ke Pertamina, apalagi harga minyak dunia sedang tinggi. Kolaborasi ini menjadi sangat penting. Kita berharap Garuda kokoh di angkasa.

MH Said Abdullah Ketua Badan Anggaran DPR

source