Lebih dari sebulan telah berlalu pasca keluarnya Permehub 20/2019 dan Kepmenhub 72/2019 yang mengatur tarif batas atas (TBA) layanan penumpang pesawat kelas ekonomi, dan hiruk pikuk kenaikan harga tiket pesawat masih terus berlanjut. Banyak pengamat mengajukan usulan kebijakan yang menyasar penurunan biaya operasi agar tarif pesawat bisa turun, misalnya penurunan harga avtur, penurunan tarif bandara, dan penurunan tarif pajak.

Usulan tersebut bersifat lintas sektoral dan tentunya akan memakan waktu. Terakhir, Kemenhub telah menurunkan tarif batas atas (TBA) sebesar 16%. Penurunan TBA dipercaya akan memaksa Full Service Airline (FSA) menurunkan harga. Selanjutnya, disparitas harga yang semakin kecil akan membuat maskapai Low Cost Carrier (LCC) mengikuti. Dapat dipahami bahwa pemerintah punya kepentingan agar tarif pesawat murah, salah satunya untuk mendukung sektor pariwisata. Namun, di sisi lain industri penerbangan juga perlu dijaga agar bisa tumbuh secara berkelanjutan.

Tarif Batas Bawah (TBB) muncul ketika industri penerbangan kita diterpa masalah terkait keselamatan. Dengan adanya TBB diharapkan maskapai tidak mengorbankan aspek keselamatan demi mengejar penjualan. Rentang TBB dan TBA kemudian diatur agar maskapai tidak seenaknya mengenakan harga pada konsumen. Pertanyaannya, apakah TBB dan TBA yang diberlakukan sudah tepat? Atau lebih mendasar lagi, perlukan tarif pesawat diatur?

Menurut teori welfare economics, pengaturan harga akan mengurangi surplus konsumen. Jika itu menjadi ukuran dampak kebijakan harga, maka pengaturan harga akan selalu merugikan konsumen. Namun, dalam kondisi tertentu pengaturan harga perlu dilakukan, misalnya dalam hal komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak atau jika pasar mengarah ke monopoli.

Apa yang akan terjadi jika tarif pesawat tidak diatur? Kita bisa belajar pada apa yang terjadi dalam industri penerbangan Amerika di awal dekade 80-an. Pada 1978, Kongres Amerika Serikat meloloskan Airline Deregulation Act yang menetapkan bahwa semua batasan terkait tarif dan rute layanan harus hilang sebelum 1 Januari 1983. Deregulasi ini kemudian diikuti kemunculan maskapai bertarif murah (saya tidak menggunakan istilah LCC karena tidak semua maskapai bertarif murah mengadopsi model bisnis LCC) yang mengancam hegemoni petahana yang merupakan FSA. Pemain-pemain baru ini merebut pangsa pasar di rute-rute yang gemuk, dan ini memberi pukulan telak bagi petahana. American Airline sebagai salah satu petahana menyerang balik dengan respons yang cerdas melalui inisiatif yang sekarang dikenal sebagai revenue management (RM), selain model hub-and-spoke yang sampai saat ini diadopsi maskapai penerbangan dalam penentuan rute.

Apa itu RM? Inti dari RM adalah diferensiasi harga di mana barang yang “sama” dijual dengan harga yang berbeda-beda. Secara intuitif, ini bisa dijelaskan dengan kurva permintaan. Kurva permintaan yang menurun dari kiri ke kanan (downward-sloping) mengindikasikan bahwa konsumen memiliki kesediaan membayar (willingness-to-pay) yang berbeda-beda untuk suatu barang yang sama. Banyak konsumen yang mau membeli pada harga murah, dan masih ada sedikit yang mau membeli walaupun harganya mahal. Sejatinya barang yang dijual tidak betul-betul sama. Sama-sama tiket pesawat untuk penerbangan yang sama, namun dengan fitur yang berbeda-beda.

Konsumen dengan kesediaan membayar rendah, umumnya leisure passenger, akan membeli tiket tanpa fitur macam-macam, tidak bisa diubah dan dibatalkan, jauh-jauh hari sebelum keberangkatan. Sementara konsumen dengan kesediaan membayar tinggi, umumnya business passenger, akan membeli tiket dekat hari keberangkatan dengan fitur yang membuat perjalanan mereka nyaman. Inilah yang dieksploitasi dalam RM menggunakan kebijakan diferensiasi harga. Dari sudut pandang lain, ini bisa dilihat sebagai mekanisme voluntary cross subsidization. Intervensi semacam ini lebih efektif diterapkan dalam industri dengan kapasitas terbatas yang jika tidak terpakai akan terbuang percuma (perishable), seperti industri penerbangan. Itulah mengapa bisa terdapat puluhan harga yang berbeda dalam satu penerbangan yang sama.

RM membawa paradigma baru dalam penentuan harga. Dalam RM, harga ditentukan menggunakan pendekatan matematis analitis dengan tujuan memaksimalkan keuntungan perusahaan. RM merupakan praktik umum dalam industri penerbangan, termasuk di Indonesia. Dalam penerapannya RM melibatkan proses perhitungan masif yang membutuhkan dukungan sistem komputasi yang cepat dan andal. Beberapa maskapai besar di Indonesia mengadopsi sistem yang umum digunakan di industri penerbangan dunia.

Jika maskapai penerbangan di Indonesia sudah menerapkan RM, mengapa mereka masih mengeluhkan marjin keuntungan yang tipis? Kemungkinannya, terdapat kelemahan dalam penerapan RM oleh maskapai. Masukan penting dalam proses optimasi untuk diferensiasi harga adalah fungsi permintaan. Fungsi ini menggambarkan permintaan terhadap suatu produk sebagai fungsi dari harga. Ini biasanya diperoleh melalui survei atau diturunkan dari data historis.

Dalam kondisi sekarang di mana sebagian besar penjualan tiket terjadi melalui online travel agent, estimasi permintaan membutuhkan pendekatan yang lebih canggih karena data historisnya sangat dinamis. Jika fungsi permintaan yang digunakan tidak akurat, rekomendasi harga yang dihasilkan tidak optimal. Selain itu, RM merupakan kebijakan yang sangat taktikal. Variabel biaya yang digunakan dalam penentuan harga bersifat inkremental, yang jauh dari level harga yang bisa menjamin kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang.

Tanpa memperhitungkan level biaya yang menjamin kelangsungan hidup jangka panjang, maskapai akan terjebak dalam perang tarif yang mematikan. Sepertinya, inilah yang tempo hari terjadi. Saat ini maskapai mulai menyadari bahwa mereka berada dalam pusaran perang tarif yang tidak sehat. Kenaikan harga yang hampir bersamaan dari maskapai yang berbeda mengindikasikan adanya tacit coordination untuk keluar dari jebakan ini. Apakah ini mengarah pada praktik kartel, biarlah itu menjadi ranah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk membuktikannya.

Jika kebanyakan usulan untuk mengatasi masalah tingginya harga tiket pesawat fokus pada penurunan biaya operasi, RM mendekati masalah dari sisi pendapatan. Studi oleh McKinsey (1992) dan AT Kearney (2000) menunjukkan bahwa inisiatif RM dalam industri penerbangan berhasil meningkatkan operating profit sebesar 8,2-11,1%, lebih tinggi dari inisiatif penurunan biaya variabel yang hanya berkontribusi 5,2 – 7,8%.

Apa yang terjadi jika tarif dibatasi oleh aturan pemerintah? Pembatasan tarif mengurangi keleluasaan maskapai dalam mengeksploitasi inisiatif diferensiasi harga. Pilihan tarif yang bisa ditawarkan pada konsumen akan berkurang, sehingga rentang daya beli konsumen yang bisa dijangkau menjadi semakin sempit. Pembatasan membuat orang dengan kesediaan membayar di bawah TBB tidak akan membeli.

Demikian juga, orang yang memiliki kesediaan membayar di atas TBA akan membeli pada harga yang lebih murah, sehingga mekanisme subsidi silang tidak terjadi Akibatnya, load factor akan turun. Sementara itu, berapapun penumpang yang diangkut, beban biaya yang harus ditanggung maskapai untuk setiap penerbangan relatif tetap. Dampaknya, harga harus dinaikkan agar beban biaya tadi bisa ditanggung oleh konsumen yang jumlahnya lebih sedikit.

Jika pembatasan tarif dihapus, bagaimana dengan aspek keselamatan? Kunci utama keselamatan adalah penegakan standar dan prosedur. Pemberlakuan tarif sebagai instrumen keselamatan sedikit banyak menggambarkan ‘kemalasan’ atau mungkin juga “ketidakmampuan” Kemenhub dalam menegakkan standar dan prosedur. Jika pembatasan tarif mau dihapus, perbaikan perlu dilakukan dalam beberapa aspek.

Pertama, kemampuan dan kapasitas Kemenhub dalam menegakkan standar dan prosedur keselamatan harus ditingkatkan. Kedua, pemerintah dan KPPU harus terus menjaga agar persaingan dalam industri penerbangan tetap sehat dan kompetitif. Dalam pasar yang kompetitif, maskapai yang seenaknya menaikkan tarif akan “dihukum” oleh konsumen dengan tidak membelinya. Ketiga, maskapai harus meningkatkan kemampuannya dalam mengeksploitasi inisiatif RM. Dukungan aplikasi dan sistem komputasi yang mumpuni dalam implementasi RM baru merupakan necessary condition.

Diperlukan kompetensi sumber daya manusia dan kerja sama tim yang handal sebagai sufficient condition agar sistem tadi bisa digunakan secara optimal. Yang perlu dilakukan oleh maskapai adalah meningkatkan kualitas implementasi RM. Ini tidak hanya untuk inisiatif diferensiasi harga, tapi juga overbooking dan network management. yang terkait dengan alokasi kapasitas untuk berbagai kelas tarif dalam jaringan rute. Selain itu, maskapai bisa mengeksploitasi inisiatif lain, seperti peningkatan pendapatan dari ancillary product, dan peningkatan efisiensi melalui perampingan proses bisnis dan sistem penjadwalan pesawat dan kru yang lebih baik.

Semua inisiatif tersebut bukanlah hal baru di industri penerbangan. Permasalahan dalam industri penerbangan telah sejak lama memotivasi riset dalam bidang optimasi matematis, mulai dari optimasi harga dan kapasitas sampai penjadwalan pesawat dan kru. Berbagai model dan solusi telah tersedia. Masalahnya, tidak semua maskapai punya kemampuan untuk mengimplementasikannya dengan baik. Dibutuhkan sumber daya manusia yang kompeten untuk bisa menjalankan semua inisiatif tersebut secara paripurna. Ke depan, ini menjadi tantangan yang harus diatasi maskapai penerbangan di Indonesia jika ingin tetap kompetitif.

source