Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Paket kebijakan pemerintah terkait logistik dinilai kurang greget. Sebab, sejumlah deregulasi yang akan dikeluarkan dianggap tidak akan berjalan efektif.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) Budi Paryanta mengatakan, langkah pemerintah belum menjawab sepenuhnya persoalan di bidang logistik.
Seperti diberitakan, hari ini, Rabu (27/1) pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi ke sembilan. Salah satu isi paket itu diantaranya mengenai keinginan pemerintah mengurangi ongkos logoistik.
Ada lima kebijakan deregulasi yang dilakukan terkait logistik. Pertama merevisi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2015 yang memberi batasan tarif jasa pos komersial, dan harus lebih tinggi dari tarif jasa pos universal, yang ditetapkan pemerintah.
Kedua, menyatukan pembayaran jasa-jasa kepelabuhanan secara elektronik (single billing) oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengoperasikan pelabuhan. Ketiga, Menunjuk BUMN sebagai konsolidator bagi produk UKM, geographical indications dan ekonomi kreatif.
Keempat, Mengintegrasikan Portal Indonesia National Single Window (INSW) dengan sistem informasi barang dipelabuhan yang terintegrasi (inaportnet). Kelima, merevisi Instruksi Menteri Perhubungan nomor 3 tahun 2014, terkait penggunaan mata uang dalam pembayaran kegiatan transportasi.
Nah, sebetulnya Budi menyambut baik penghapusan batas tarif pos sebagaimana kebijakan pertama. “Kami akui, pembatasan tarif membuat industri pengiriman barang menjadi tidak kompetitif,” kata Budi.
Dengan begitu, aturan tersebut telah membuat cost logistik meningkat cukup signifikan. Nah, dengan kebijakan ini maka doharapkan industri logistik bisa kembali bergarah dan tarif kembali ditentukan mekanisme pasar.
Namun demikian, secara umum kebijakan yang dikeluarkan tidak akan berdampak signifikan. Sebagai contoh sisten single billing yang tidak akan efektif, karena pernah dilakukan oleh maskapai penerbangan Garuda. Kebijakan itu malah membuat tidak efisien.
Lebih lanjut, Budi bilang ongkos logistik saat ini bisa mencapai 40% terhadap biaya produksi. Idealnya, biaya logistik itu diantara 20%-25%. Namun akan lebih baik lagi bila di bawah 20%.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

source