Sumber gambar, Antara Foto
Sejumlah pakar penyakit menular mengatakan hepatitis akut yang baru masuk Indonesia dan diduga telah merenggut nyawa tiga anak-anak itu masih tergolong "misterius" dan berbeda dengan hepatitis yang sudah ada.
Meski demikian stigma dan masalah yang dialami penderita hepatitis di Indonesia menjadi cerminan dan pengingat bahwa Indonesia harus sigap mengatasi hepatitis tipe baru itu.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan bahwa hepatitis akut ini masih dianggap penyakit misterius. "Ya misterius karena masih belum diketahui sebabnya apa.
Jadi sifatnya ini masih kerusakan hati, mungkin karena virus, mungkin karena autoimun, masih terus menginfeksi, sehingga masih dicari tahu kira-kira penyebabnya apa. Makanya disebut hepatitis yang tidak diketahui sebabnya atau masih misterius," ujarnya.
Baca juga:
Profesor Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, mengungkapkan bahwa hepatitis akut ini berbeda dengan yang tipe-tipe sebelumnya. Dari hasil pemeriksaan kasus-kasus di luar negeri, hepatitis akut itu semuanya negatif dari hepatitis A,B,C,D dan E.
"Nah ini semuanya negatif. Yang ketemu pada sebagian kasus malah adenovirus, jadi bukan virus hepatitis, hanya gejalanya adalah gejala hepatitis," ujarnya.
Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu
Episode
Akhir dari Podcast
Sedangkan epidemiolog dari Universitas Sriwijaya, Najmah Usman, menyoroti tiga kasus dugaan hepatitis akut yang baru diumumkan 1 Mei lalu di Indonesia, namun telah merenggut nyawa tiga anak di Jakarta dengan rentang dua minggu terakhir hingga 30 April 2022.
Inilah yang jadi perhatian karena kasus-kasus yang sudah ada di negara-negara lainnya sangat minim sekali korban meninggal dunia.
"Berkaca dengan kasus di Indonesia ini berarti ada banyak kasus yang mungkin belum teridentifikasi ataupun belum ada akses pengobatan karena gejalanya seperti mual, demam, hingga gangguan pencernaan, diare dan gangguan pernafasan, mungkin belum diwaspadai oleh masyarakat Indonesia," ujarnya.
Sedangkan juru bicara Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi, dalam keterangan resminya mengatakan pihaknya sedang berupaya untuk melakukan investigasi penyebab kejadian hepatitis akut ini melalui pemeriksaan panel virus secara lengkap.
Pada Selasa (03/05), juru bicara WHO menyatakan bahwa pihaknya telah menerima sedikitnya 228 laporan kasus dugaan hepatitis pada anak-anak.
Sumber gambar, AFP via Getty Images
Seorang pria menjalani pemeriksaan hepatitis C
Prof Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, mengungkapkan bahwa hepatitis akut ini berbeda dengan tipe-tipe sebelumnya yang sudah ada.
"Bahwa hepatitis masalah kesehatan bagi Indonesia dan dunia itu sudah lama terjadi. "Tetapi yang sekarang terjadi ini adalah hal yang berbeda," ujarnya
Dia mengingatkan bahwa hasil dari pemeriksaan kasus-kasus di luar negeri, kasus yang baru itu semuanya negatif hepatitis A,B,C,D dan E.
Namanya sama-sama hepatitis tapi situasinya berbeda. Karena itulah WHO memberi perhatian khusus pada hepatitis yang sekarang ini yang situasinya berbeda dengan yang sebelumnya.
"Nah ini semuanya negatif. Yang ketemu pada sebagian kasus malah adenovirus, jadi bukan virus hepatitis, hanya gejalanya adalah gejala hepatitis. Anaknya kena demam, kuning, dan sebagainya. Jadi ini dua hal yang berbeda," ujarnya.
Mula-mula kasus hepatitis akut itu muncul di Eropa kemudian Amerika lalu di Jepang. Dua hari yang lalu sudah dilaporkan di Singapura dan Minggu kemarin (01/05) Indonesia melaporkan ada tiga kasus yang diduga seperti itu.
"Kenapa masih diduga karena tidak diinformasikan di rilis Kemenkes kemarin apakah tipe A,B,C,D, dan E-nya itu negatif dan apakah ada adenovirus pada tiga anak yang meninggal itu," ujar Tjandra, yang juga Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Mantan Kepala Balitbangkes di Kementerian Kesehatan RI.
Maka dia berharap akan ada penjelasan dari pemerintah tentang hasil Laboratorium Hepatitis A-E dan juga Adenovirus terkait dugaan kasus di Indonesia, selain juga hasil pemeriksaan virus-virus lainnya.
Najmah Usman, epidemiolog dari Universitas Sriwijaya mengatakan bahwa berdasarkan data dari WHO hepatitis akut ini masih tergolong penyakit yang tidak diketahui etiologinya sehingga masih dalam penyelidikan.
Sumber gambar, AFP via Getty Images
Pemberian vaksin hepatitis kepada anak-anak sangat penting dilakukan
"Dengan etiologi yang belum jelas, apakah ada kaitan dengan penularan dengan makanan, atau obat-obatan tertentu, apakah ada kaitan dengan vaksin Covid-10 atau toxic tertentu, ini sangat berbeda dengan hepatitis kronis yang sudah ada di Indonesia seperti hepatitis B dan C," ujarnya.
Sehingga belum bisa langsung disimpulkan apakah penyakit ini akan menimbulkan kanker hati dan sebagainya.
Tapi hepatitis akut yang "misterius ini" memunculkan kemungkinan anak-anak yang mengidapnya mengalami gangguan hati sehingga diperlukan transplantasi hati.
"Untuk sementara penjelasan tentang kanker hati ini belum ditemukan. Namun berdasarkan investigasi epidemiologi yang ada, hepatitis akut ini rentan untuk anak-anak yang mengalami gangguan imunitas. Jadi sangat diwaspadai untuk anak-anak."
Terkait informasi dari Kemenkes RI dan WHO soal kemungkinan ada penularan dari kontak langsung, menurut Najmah, kita disarankan kembali ke perilaku hidup bersih dan sehat. "Cuci tangan, buang air besar pada jamban dan septic tank yang tertutup, lalu memperhatikan higienitas atau kebersihan di sekitar. Ini yang perlu diperhatikan."
Lalu pemerintah disarankan melakukan pantauan secara aktif untuk jenis hepatitis yang terbaru ini. "Karena ada kemungkinan banyak kasus yang tidak teridentifikasi di Indonesia sehingga perlu kewaspadaan dini bagi kita orang tua.
Apalagi ini menjelang liburan sekolah ada interaksi yang sangat intens pada anak-anak dan menjelang masuk sekolah ini menjadi kewaspadaan dini, karena ada kemungkinan imunisasi yang sudah dilakukan oleh anak-anak mungkin tidak bisa menanggulangi dengan hepatitis akut jenis misterius ini," ujarnya.
Sumber gambar, AFP via Getty Images
Vaksin hepatitis
Marzuarita, pegiat dari Yayasan Komunitas Hepatitis Indonesia, berharap hepatitis akut bila sudah masuk Indonesia penularannya tidak sampai separah dengan tipe-tipe sebelumnya yang sudah ada di negeri ini, semisal B dan C.
Dia menyebutkan hepatitis B itu 100 kali lebih menular dari HIV, sedangkan Hepatitis C 10 kali lebih menular dari HIV. Dia mengungkapkan data seperti itu yang seringkali menakutkan penderita dan itu yang bisa membuat mereka makin takut menjalani skrining, takut ketahuan.
"Mereka takut karena kalau mereka ketahuan hepatitis, ini stigma masyarakat masih tidak bagus kan. Karena pasien masih dikucilkan begitu ketahuan hepatitis. Masih ada diskriminasi dalam berbagai bidang," kata Marzuarita yang bersama yayasannya telah membantu ratusan penderita hepatitis dalam menjalani perawatan dan pengobatan.
Ketakutan seperti itulah yang membuat penderita terlambat untuk menjalani perawatan dan sulit disembuhkan. Seperti yang dialami seorang ibu di Cikarang yang terlambat didiagnosis karena sebelumnya tidak mengecek lebih awal hingga perutnya sudah membuncit dengan banyak cairan.
"Akhirnya saya minta diperiksa di RSCM dan sudah terlambat. Ketahuan dia ternyata menderita hepatitis B tapi kondisinya sudah telat. Sudah ada kankernya, dan kalau mau dicabut sudah terlambat. Kasus seperti itu banyak, tapi tidak ada yang blow-up," ujar Marzuarita.
Pernyataan Marzuarita sejalan dengan laporan Kementerian Kesehatan pada 2014 lalu.
Virus hepatitis dalam laporan itu disebut "sebuah fenomena gunung es," karena penderita yang tercatat atau yang datang ke layanan kesehatan lebih sedikit dari jumlah penderita sesungguhnya.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) studi dan uji saing darah donor PMI maka diperkirakan di antara 100 orang Indonesia, 10 di antaranya telah terinfeksi Hepatitis B atau C.
Sehingga ketika laporan Kemenkes dirilis, diperkirakan terdapat 28 juta penduduk Indonesia yang terinfeksi Hepatitis B dan C, 14 juta di antaranya berpotensi untuk menjadi kronis. Adapun dari yang kronis tersebut 1,4 juta orang berpotensi menderita kanker hati.
Indonesia dalam laporan Kementerian Kesehatan 2014 merupakan negara dengan endemisitas tinggi hepatitis B, terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Myanmar.
Menurut hasil Riskesdas tahun 2013 bahwa jumlah orang yang didiagnosis hepatitis di fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan gejala-gejala yang ada menunjukkan peningkatan dua kali lipat apabila dibandingkan dari data tahun 2007 dan 2013.
Kondisi ini, menurut laporan Kemenkes, akan berpotensi menjadi masalah di masa yang akan datang apabila tidak segera dilakukan upaya-upaya yang serius.
Kini, dengan kemunculan kasus hepatitis akut di Indonesia, pemaparan Riskesdas beberapa tahun lalu itu menjadi relevan.
"Berkaca dengan kasus di Indonesia ini berarti ada banyak kasus yang mungkin belum teridentifikasi ataupun belum ada akses pengobatan karena gejalanya seperti mual, demam, hingga gangguan pencernaan, diare dan gangguan pernafasan, mungkin belum diwaspadai oleh masyarakat Indonesia," ujar Najmah terkait hepatitis akut.
Sebanyak tiga pasien anak yang dirawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, meninggal dunia dengan dugaan Hepatitis Akut yang belum diketahui penyebabnya. Mereka tutup usia dalam kurun waktu yang berbeda dengan rentang dua minggu terakhir hingga 30 April 2022.
Sebagaimana dilaporkan Kementerian Kesehatan, ketiga pasien ini merupakan rujukan dari rumah sakit yang berada di Jakarta Timur dan Jakarta Barat.
Menanggapi rangkaian insiden ini, Kementerian Kesehatan membuat klaim bahwa mereka telah meningkatkan kewaspadaan.
Apalagi rentetan peristiwa itu berlangsung setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) pada kasus Hepatitis Akut yang menyerang anak-anak di Eropa, Amerika dan Asia, dan belum diketahui penyebabnya sejak 15 April 2022.
Menurut Kemenkes, gejala yang ditemukan pada pasien-pasien ini mencakup:
Saat ini, Kemenkes menyatakan sedang berupaya untuk melakukan investigasi penyebab kejadian hepatitis akut ini melalui pemeriksaan panel virus secara lengkap. Dinas kesehatan Provinsi DKI Jakarta sedang melakukan penyelidikan epidemiologi lebih lanjut.
"Selama masa investigasi, kami menghimbau masyarakat untuk berhati-hati dan tetap tenang. Lakukan tindakan pencegahan seperti mencuci tangan, memastikan makanan dalam keadaan matang dan bersih, tidak bergantian alat makan, menghindari kontak dengan orang sakit serta tetap melaksanakan protokol kesehatan," kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi.
Lebih jauh, Siti Nadia mewanti-wanti para orang tua untuk segera memeriksakan anak ke fasilitas layanan kesehatan terdekat jika mengidap gejala sebagai berikut:
WHO pertama kali menerima laporan pada 5 April 2022 dari Inggris Raya mengenai 10 kasus Hepatitis Akut yang Tidak Diketahui Etiologinya (Acute Hepatitis of Unknown aetiology ) pada anak-anak usia 11 bulan-5 tahun pada periode Januari hingga Maret 2022 di Skotlandia Tengah.
Kisaran kasus terjadi pada anak usia satu bulan sampai dengan 16 tahun. Sebanyak 17 anak di antaranya (10%) memerlukan transplantasi hati, dan satu kasus dilaporkan meninggal.
Gejala klinis pada kasus yang teridentifikasi adalah hepatitis akut dengan peningkatan enzim hati, sindrom jaundice (penyakit kuning) akut, dan gejala gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, dan muntah-muntah). Sebagian besar kasus tidak ditemukan adanya gejala demam.
Sejak ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa oleh WHO, jumlah laporan hepatitis akut pada anak terus bertambah. Tercatat lebih dari 170 kasus dilaporkan oleh lebih dari 12 negara pada akhir April 2022.
Pada Selasa (03/05), juru bicara WHO menyatakan bahwa pihaknya telah menerima sedikitnya 228 laporan kasus dugaan hepatitis pada anak-anak.
"Hingga 1 Mei, sedikitnya 228 kasus dugaan telah dilaporkan ke WHO dari 20 negara dengan lebih dari 50 kasus tambahan masih diinvestigasi," papar juru bicara WHO, Tarik Jasarevic, di Jenewa, Swiss sebagaimana dilaporkan kantor berita Reuters.
Penyebab dari penyakit tersebut masih belum diketahui.
Pemeriksaan laboratorium di luar negeri telah dilakukan dan virus hepatitis tipe A, B, C, D, dan E tidak ditemukan sebagai penyebab dari penyakit tersebut.
Adenovirus terdeteksi pada 74 kasus di luar negeri yang setelah dilakukan tes molekuler, teridentifikasi sebagai F type 41. SARS-CoV-2 ditemukan pada 20 kasus, sedangkan 19 kasus terdeteksi adanya ko-infeksi SARS-CoV-2 dan adenovirus.
© 2022 BBC. BBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal. Baca tentang peraturan baru terkait link eksternal.