Salah satu metrik yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan keputusan investasi adalah rasio solvabilitas suatu perusahaan. Rasio tersebut bisa ditemukan pada laporan keuangan perusahaan yang diterbitkan secara kuartalan maupun tahunan. 
Rasio solvabilitas dapat mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban utang jangka panjang, yang menjadi perhatian bagi pemberi modal. Selain itu, rasio tersebut juga mampu memberikan gambaran terkait kesehatan keuangan perusahaan. Hal itu tercermin dari kemampuan arus kas perusahaan dalam memenuhi utang jangka panjangnya. 
Menurut laman Investopedia, ada empat jenis rasio solvabilitas yang bisa digunakan dan berlaku dalam pembayaran jangka panjang, yaitu:
Investor dapat mengetahui daya ungkit perusahaan serta perbandingan jumlah aset perusahaan yang didanai oleh utang atau berasal dari aset perusahaan sendiri. Karena rasio ini mengukur total utang perusahaan terhadap total asetnya, maka rumus menghitung debt to asset ratio adalah pembagian dari utang dengan aset.
Apabila hasil perhitungan menunjukkan angka di atas satu (1,0), maka kebanyakan aset perusahaan diperoleh dari utang. Lebih lanjut, ada kemungkinan perusahaan kesulitan membayar kembali utangnya. 
Mirip dengan rasio utang terhadap aset, rasio D/E menunjukkan bagaimana perusahaan didanai oleh utang. Jadi, semakin tinggi angka rasio D/E, semakin tinggi utang yang dimiliki perusahaan, dan kemungkinan gagal bayarnya pun lebih tinggi. 
Adapun rasio ini juga bisa menunjukkan seberapa banyak utang yang bisa dibayar oleh ekuitas dalam perusahaan, bila perusahaan itu menghadapi likuidasi. Untuk menghitung rasio D/E, rumusnya adalah membagikan utang terhadap ekuitas.
Apabila kedua rasio di atas menggunakan utang sebagai pembanding dalam rasio solvabilitas suatu perusahaan, maka rasio ekuitas menggunakan ekuitas pemegang saham sebagai pembanding. Rasio ini menunjukkan seberapa banyak ekuitas mendanai jalannya suatu perusahaan, alih-alih utang. 
Rumus menghitung rasio ekuitas adalah pembagian antara jumlah ekuitas pemegang saham dengan total aset perusahaan. Semakin tinggi angkanya, maka semakin sehat perusahaan tersebut. Begitu juga apabila rasio ekuitas rendah, maka perusahaan akan cenderung lebih banyak dibiayai oleh utang daripada saham.  
Rasio ini digunakan untuk mengukur berapa kali perusahaan dapat membayar bunga yang ada dengan pendapatan yang diperoleh saat ini. Semakin tinggi rasionya, semakin baik. Sebaliknya, apabila persentase rasio cakupan bunga perusahaan di bawah 1,5 dapat mengindikasikan kesulitan bagi perusahaan untuk membayar bunga atas utangnya.
Untuk menghitung rasio ini, cukup membagikan laba sebelum bunga dan pajak (earnings before interest and taxes) alias EBIT dengan beban bunga. 
 
Rasio solvabilitas lebih tepat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih emiten dalam satu jenis industri. Sebagai contoh, berikut merupakan perbandingan rasio solvabilitas dua emiten di industri pertambangan batubara, yaitu PT Adaro Energy Tbk alias ADRO dan PT Bukit Asam atau PTBA. 
Melansir laporan keuangan masing-masing perusahaan per 31 Desember 2021, total aset PTBA mencapai Rp 36,1 triliun dan total ekuitas sebesar Rp 24,2 triliun. Sementara itu, utang atau liabilitas PTBA hingga akhir 2021 mencapai angka Rp 11,8 triliun dan EBIT mencapai Rp 10,3 triliun.
Untuk melakukan aktivitas operasional, PTBA juga membayar bunga sebesar Rp 112,3 miliar. Bila dilihat dari data RTI Business, PTBA memperoleh dana dari saham (market cap) sebesar Rp 42,6 triliun, Rabu (20/4).
Di sisi lain, total aset ADRO adalah sebesar US$ 7,5 miliar atau setara Rp 105 triliun (kurs Rp 14.000) dan total ekuitas sebesar US$ 4,4 miliar setara Rp 61,6 triliun. Kemudian, perusahaan ini juga memiliki kewajiban utang sebesar US$ 3,1 miliar atau senilai Rp 43,4 triliun serta EBIT senilai US$ 1,4 miliar setara Rp 19,6 triliun.
Perusahaan ini juga memiliki kewajiban untuk membayar bunga sebesar US$ 12,8 juta atau senilai Rp 179,2 miliar. Berdasarkan catatan RTI Business, saham ADRO memiliki kapitalisasi pasar Rp 103,3 triliun, per Rabu (20/4).

Untuk menghitung rasio utang terhadap aset, maka akan dilakukan pembagian dari utang dengan aset. Rasio utang terhadap aset PTBA di level 0,32 sementara ADRO di level 0,41. Dari angka tersebut, bisa disimpulkan bahwa penggunaan utang untuk menjalankan kegiatan usaha lebih besar dilakukan oleh ADRO.
Rasio kedua, utang terhadap ekuitas dihitung berdasarkan pembagian antara liabilitas dan ekuitas suatu emiten. Maka, nilai rasio utang terhadap ekuitas PTBA sebesar 0,48 dan ADRO sebesar 0,7. Angka itu sejalan dengan nilai rasio utang terhadap aset, sehingga diketahui bahwa ADRO lebih banyak menggunakan utang sebagai modal usaha dibandingkan dengan PTBA.
Kemudian, untuk menghitung seberapa besar saham mendanai kedua emiten ini, maka jumlah ekuitas pemegang saham akan dibagikan dengan total aset perusahaan. Rasio ekuitas PTBA sebesar 1,1 dan ADRO sebesar 0,98. Dari angka ini disimpulkan bahwa PTBA lebih banyak menggunakan sahamnya untuk mendanai kegiatan perusahaan.
Begitu juga dengan rasio keempat, dari pembagian EBIT dengan biaya bunga yang dikeluarkan perusahaan, dapat dihitung rasio cakupan bunga kedua emiten ini. Maka, rasio cakupan bunga PTBA sebesar 91,7 sementara ADRO sebesar 109,3.
Dapatkan informasi terkini dan terpercaya seputar ekonomi, bisnis, data, politik, dan lain-lain, langsung lewat email Anda.

source