Menurut HNW, syarat kepemilikan kartu BPJS Kesehatan aktif ini tidaklah relevan dan akan memberatkan calon jemaah umrah dan haji khusus yang sudah tertunda keberangkatannya selama pandemi COVID-19. Ia pun menilai hal ini dapat menimbulkan inefisiensi bagi para calon jemaah yang pada umumnya telah memiliki kartu asuransi jaminan kesehatan pribadi.
“Prinsipnya kami mendukung suksesnya program BPJS, karena memang bermanfaat untuk warga. Tapi dia harus berlaku secara elegan, program yang prinsipnya sukarela itu mestinya tidak diwajibkan untuk hal-hal yang tidak relevan, seperti bagi para calon jemaah haji khusus dan umrah, penyelenggara perjalanan Haji dan Umrah, serta pendidik dan peserta didik di lingkungan Kementerian Agama,” ujar Hidayat dalam keterangannya, Selasa (22/2/2022).
Ia menilai penambahan aturan ini malah menambah masalah besar yang sebelumnya dikeluhkan oleh Presiden Jokowi sendiri. Menurutnya, hal ini juga tidak sesuai dengan janji Presiden Jokowi untuk melakukan deregulasi dan debirokratisasi.
“Untuk mensukseskan BPJS Kesehatan dengan semangat gotong royong, Presiden seharusnya lebih fokus dan rinci membuat Inpres untuk memperbaiki kinerja BPJS Kesehatan dan layanan kesehatan di Rumah Sakit dan Puskesmas rujukan BPJS Kesehatan. Bukan malah membuat aturan tambahan yang justru menambah beban kepada birokrasi juga kepada kelompok masyarakat yang tak langsung terkait. Seperti para jamaah umrah dan haji khusus, yang umumnya sudah punya kartu asuransi mandiri di luar BPJS Kesehatan,” sambungnya.
Untuk diketahui, dalam Inpres 1/2022 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 6 Januari 2022 terdapat tiga kelompok yang diinstruksikan oleh Presiden bagi Menteri Agama untuk memiliki kepesertaan BPJS aktif. Kelompok ini terdiri dari pelaku usaha dan pekerja pada PPIU dan PPIH, calon jemaah umrah dan jemaah haji khusus, serta peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di lingkungan Kemenag.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini menilai ketentuan tersebut menambah beban yang tidak relevan. Pasalnya, syarat untuk mendaftar jadi peserta BPJS Kesehatan harus membayar premi bulanan.
Menurutnya, hal ini justru memberi biaya tambahan bagi calon jemaah, selain juga merugikan bagi mereka yang umumnya telah memiliki asuransi kesehatan pribadi di luar BPJS Kesehatan.
Ia mencontohkan jika satu keluarga berisi 4 orang hendak umrah, maka harus ada biaya sekitar Rp 600.000 yang harus dikeluarkan untuk mendaftar BPJS kelas I. Belum lagi jika keberangkatan umrah ditunda karena peningkatan kasus COVID-19, maka biaya premi tersebut harus dibayar tiap bulannya agar kepesertaan mereka tetap aktif.
“Padahal mungkin sebagian mereka tidak akan menggunakan layanannya karena sudah memiliki asuransi lain. Boleh saja mereka diimbau untuk sedekah/hibah membantu BPJS Kesehatan, tapi menjadikannya sebagai persyaratan wajib, selain tidak rasional juga bisa berdampak kepada pelanggaran terhadap hukum Agama,” ungkapnya.
Lebih lanjut, HNW mengatakan calon jemaah umrah/haji khusus semestinya dimudahkan. Bukan malah diwajibkan melakukan sesuatu yang tidak relevan dan tidak wajib yang kalau ditolak bisa jadi mengganggu keberangkatan mereka ke tanah suci.
Terkait hal ini, ia pun mengingatkan pemerintah agar tak mewajibkan apalagi menjadikan aturan baru dalam Inpres tersebut sebagai sumber pendanaan bagi BPJS. Hidayat mengungkap dari kewajiban kepesertaan jemaah umrah dan haji khusus dalam kondisi sebelum pandemi COVID-19 saja, setiap tahunnya ada 1 jutaan jemaah umrah dan 17 ribuan jemaah haji khusus yang jika ditotal bisa diperoleh nilai setoran mencapai Rp 1,83 Triliun per tahun.
HNW pun meminta pihak Kemenag untuk cermat bila akan menindaklanjuti aturan tersebut dengan melihat situasi penyelenggara dan calon jemaah haji dan umrah. Menurutnya, sikap dari Serikat Penyelenggara Umrah dan Haji (Sapuhi) yang meminta agar tidak ada aturan tambahan yang menyulitkan para jemaah pun harus dipertimbangkan.
Kendati Inpres terkait aturan BPJS ini sudah keluar, HNW menyebut hal ini belum menjadi bahasan dalam rapat terakhir Komisi VIII DPR-RI dengan Kemenag.
“Ada baiknya Menteri Agama bersama Dirjen PHU membahasnya bersama Komisi VIII DPR-RI, sehingga bisa dicari solusi terbaik yang menyukseskan BPJS, tapi tidak memberatkan bagi para jemaah haji dan umrah. Misalnya, dengan menyampaikan agar soal kepesertaan aktif kartu BPJS kesehatan untuk Kemenag hanya merupakan imbauan, dan sama sekali bukan aturan tambahan apalagi syarat untuk calon jemaah haji khusus dan jemaah umrah,” pungkasnya. (akn/ega)

source