by Arienal A Prasetyo 05/11/2022 09:35
Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya
Sebelum ditunjuk FIFA menjadi tuan rumah Piala Dunia, Qatar tidak punya fasilitas yang meyakinkan untuk menggelar turnamen sekelas Piala Dunia. Untuk itu, mereka perlu membangun banyak fasilitas, seperti stadion, hotel, dan berbagai infrastruktur lain. Hal tersebut membuat Qatar mempekerjakan banyak tenaga migran. Sayangnya, berbagai laporan menunjukkan bahwa banyak pekerja migran di Qatar yang meninggal.
Laporan kematian pekerja migran di Qatar dalam mempersiapkan infrastruktur Piala Dunia dari beberapa media sempat mengejutkan. The Guardian, misalnya melaporkan 6.500 pekerja migran meninggal. The Washington Post melaporkan sekitar 1.200 pekerja tewas.
Marc Owen Jones, penulis buku Digital Authoritarianism in The Middle East dalam sebuah utas di akun Twitter-nya menyebut jumlah 6.500 sebenarnya mengacu pada semua kematian pekerja migran dari Pakistan, Sri Lanka, Nepal, India, dan Bangladesh, apa pun penyebabnya (bukan karena pembangunan infrastruktur Piala Dunia dan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir).
Berapa jumlah dan apa penyebab pekerja migran yang meninggal belum diketahui secara pasti. Namun demikian, fakta bahwa tingginya jumlah pekerja migran di Qatar memang tak bisa dielak. Gelombang kedatangan para pekerja migran tidak hanya menjelang bergulirnya Piala Dunia saja.
Gelombang kedatangan pekerja migran ke Qatar dan negara teluk lainnya dimulai pada 1970-an, akibat melambungnya harga minyak dan kebutuhan pembangunan konstruksi dalam skala besar. Tenaga kerja dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tenaga tidak terampil maupun semi-terampil. Françoise De Bel-Air, dalam penelitian berjudul Demography, Migration, and Labour Market in Qatar menyebut bahwa pada 1971, Qatar memiliki penduduk sebanyak 111.113 jiwa di mana 66.094 di antaranya adalah para migran.
Perbandingan jumlah penduduk di Qatar. Sumber: Françoise De Bel-Air, Demography, Migration, and Labour Market in Qatar.
Para pekerja di Qatar dan negara-negara Arab lainnya diatur dalam sistem Kafala (secara etimologis, kafala [kafeel] berarti sponsor). Kafala yang menaungi para pekerja merupakan individu atau lembaga yang diakui negara, untuk mempekerjakan tenaga migran. Tidak jarang pula beberapa Kafala mempunyai agen penyalur di negara-negara tertentu untuk menyalurkan para pekerja.
Kafala menjadi penentu pekerjaan para pekerja. Kafala juga yang memberi izin untuk berhenti bekerja, berganti pekerjaan, meninggalkan negara, serta keluar dari negara tuan rumah. Pelanggaran atas kesepakatan bersama kafala akan membuat pekerja rentan terkena hukuman, seperti pencabutan paspor, denda, atau tidak dibayar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tuan rumahnya.
Sistem kafala ini mulai berkembang pada 1950-an, bersamaan dengan menggeliatnya industri minyak di semenanjung Arab. Awalnya, para pekerja yang didatangkan masih berasal dari negara-negara Arab sendiri. Namun, pada 1970-an, ketika industri minyak makin maju, para pekerja yang datang mulai dari luar jazirah Arab, seperti Asia Selatan.
Sejak diumumkan sebagai tuan rumah Piala Dunia pada 2010, menurut catatan Amnesti Internasional, populasi Qatar telah tumbuh hampir dua pertiga, dengan jumlah pekerja migran meningkat. Pada 2021, Qatar adalah rumah bagi lebih dari dua juta pekerja migran pria dan wanita yang sebagian besar berasal dari Asia dan Afrika, yang telah lulus tes kesehatan dan membayar biaya perekrutan yang besar untuk bermigrasi untuk bekerja di Qatar dalam bidang konstruksi, perhotelan, atau layanan rumah tangga. Mereka membentuk lebih dari 90% angkatan kerja Qatar dan selama sepuluh tahun terakhir.
Peraturan Pekerja Migran di Qatar Menjelang Piala Dunia
Pada 2015, Qatar menyusun undang-undang ketenagakerjaan No. 21 Tahun. Undang-undang itu mengatur masuk, keluar, dan tempat tinggal ekspatriat, yang berlaku untuk semua pekerja migran, terlepas dari pencantuman mereka dalam undang-undang perburuhan, menghapus peraturan sebelumnya yang mengharuskan mereka untuk mendapatkan izin terlebih dahulu dalam bentuk “ No Objection Certificate” (NOC) dari Kafala mereka untuk berganti pekerjaan.
Kebijakan tersebut tampak membuat pekerja migran lebih terlindungi. Namun, hal itu tetap saja tidak bisa menghindarkan para pekerja dari bahaya. Namun, UU No. 21 Tahun 2015, yang baru diundangkan pada Desember 2016 dan sebagian diubah dengan UU No. 1 Tahun 2017, hanya membawa sedikit perubahan pada aturan tersebut. Kafala dan izin keluar tidak dihapuskan seperti yang diatur dalam undang-undang.
Pada 2021, Amnesti Internasional mengeluarkan laporan tentang kematian para pekerja migran di Qatar, yang disebabkan oleh beberapa faktor. Suhu yang panas merupakan salah satunya.
Qatar memang mengeluarkan peraturan tentang larangan bekerja pada pukul 11.30-15.00 di musim panas, yakni dari 15 Juni hingga 30 Agustus. Peraturan itu dikeluarkan pada 2007. Namun, dalam catatan Amnesti Internasional, majikan para pekerja di Qatar memiliki kebebasan untuk membuat karyawan mereka bekerja di luar ruangan selama musim panas tanpa tindakan apa pun untuk melindungi mereka.
Pada Mei 2021, Qatar mengubah peraturan tentang jam kerja dengan memberi catatan khusus untuk lebih melindungi pekerja, yakni dengan melakukan pemeriksaan tahunan dan memfasilitasi pekerja dengan alat pelindung panas seperti pakaian longgar yang berwarna terang. Selain itu, larangan jam kerja diperpanjang, yakni pukul 10.00 hingga 15.00 dari 1 Juni sampai 15 September.
Kematian akibat bekerja di suhu panas memang ada. Namun, pemerintah Qatar mengelak bahwa para pekerja meninggal dalam suhu panas. Dalam keterangan kematian, pemerintah Qatar selalu menulis penyebab kematian pekerjanya karena “penyebab alami.” Temuan Amnesti Internasional mengatakan sebaliknya. Pemicu utama kematian, selain karena suhu panas, adalah jam kerja yang melebihi batas.
Manjur Khan Pathan, misalnya, pekerja asal Nepal. Menurut penuturan saudaranya yang bernama Ahmad Hussain, Pathan harus bekerja selama 12-13 jam dalam sehari. Sebagai seorang sopir kendaraan, bekerja dalam AC mobil yang mati dalam cuaca panas tentu sangat berisiko tinggi.
Dalam penyelidikannya yang lain pada 2013, Amnesti Internasional menemukan pekerja yang terlantar dalam proyek pembangunan infrastruktur Piala Dunia. Mereka tinggal dalam sebuah kamp tanpa listrik yang lokasinya tak jauh dari proyek stadion.
Selain itu, banyak pekerja yang tidak mendapat gaji yang semestinya, seperti para pekerja dari Sri Lanka. Amnesti Internasional juga mewawancarai sekitar 149 migran dari Nepal, dan mereka menyatakan bahwa mereka telah ditipu oleh agen atau majikan mereka mengenai jumlah gaji, jenis pekerjaan yang ditawarkan, jam kerja, upah lembur atau jam istirahat.
Jenis pekerjaan para migran di Qatar sejak 2006. Sumber: Françoise De Bel-Air, Demography, Migration, and Labour Market in Qatar.
Grafis di atas menunjukkan bahwa sejak 2006, jumlah pekerja konstruksi di Qatar selalu meningkat, setidaknya hingga 2011. Dari 2016, jumlah pekerja migran meningkat cukup drastis. Hal tersebut berbeda dengan pekerja di sektor lain yang peningkatannya tidak tajam.
Françoise De Bel-Air mencatat, pada 2015-2016, India, Nepal, dan Bangladesh merupakan tiga negara tertinggi yang menyumbang pekerja di Qatar. Sementara itu, Indonesia berada di peringkat sepuluh dengan jumlah 43.000 pekerja.
Berapa Pekerja Migran yang Meninggal Untuk Membangun Infrastruktur Piala Dunia?
Statistik resmi Pemerintah Qatar menunjukkan bahwa 15.021 migran meninggal di negara tersebut dalam jangka waktu sembilan tahun, yakni sejak 2010 hingga 2019. Jumlah tersebut merupakan akumulasi jumlah pekerja migran yang meninggal karena kondisi kerja, karena mencakup orang-orang dari segala usia, pekerjaan dan penyebab.
Pemerintah Qatar tidak menunjukkan berapa banyak pekerja yang tewas dalam persiapan Piala Dunia. Komite Tertinggi Qatar untuk Pengiriman dan Warisan Qatar, dikutip dari Amnesti Internasional, mengatakan bahwa 35 pekerja pada proyek Piala Dunia yang mereka awasi telah meninggal sejak 2015, tetapi tidak ada perkiraan berapa banyak pekerja yang meninggal pada proyek infrastruktur lain yang terkait dengan penyelenggaraan turnamen.
The Washington Post melaporkan pada 2015, ada sekitar 1.200 pekerja yang meninggal dalam mempersiapkan infrastruktur untuk Piala Dunia. Laporan tersebut membuat Saif Al Thaini, dari departemen komunikasi Qatar, mengirim surel kepada Washington Post. “Sebagai hasil dari artikel online Washington Post, pembaca di seluruh dunia kini telah dituntun untuk percaya bahwa ribuan pekerja migran di Qatar telah meninggal, atau akan meninggal karena membangun fasilitas untuk Piala Dunia – sebuah klaim yang mutlak sebenarnya tidak ada dasar,” tulis Al Thaini dikutip dari The Guardian.
Washington Post pada akhirnya memberi penjelasan tambahan bahwa angka-angka yang mereka sodorkan adalah angka akumulasi kematian pekerja migran di Qatar, bukan hanya kematian pekerja infrastruktur Piala Dunia.
The Guardian menyebut bahwa sejak 2010 ada sekitar 6.500 pekerja yang meninggal di Qatar dalam sebuah laporan yang tayang pada Februari 2021. Pemerintah Qatar, dalam laporan The Guardian, menyangkal hal tersebut dan menyebut bahwa jumlah itu termasuk pekerja kerah putih yang telah meninggal di Qatar setelah bekerja bertahun-tahun. Selain itu, 20% pekerja migran bidang konstruksi memang berasal dari negara-negara Asia Selatan dan telah terjadi 10% angka kematian di sektor tersebut.
“Angka kematian di antara komunitas-komunitas imigran berada dalam kisaran yang sudah diperkirakan untuk ukuran dan demografi populasi tersebut. Namun, setiap nyawa yang hilang adalah tragedi, dan segala upaya telah dilakukan untuk mencegah setiap kematian di negara kami,” ujar juru bicara pemerintah Qatar, dikutip dari The Guardian.
***
Sejauh ini belum ada jumlah pasti berapa pekerja migran yang meninggal di Qatar. Yang pasti, infrastruktur Piala Dunia 2022 dibangun di atas penderitaan pekerja migran yang belum tentu ikut menikmati hasil kerja tangan mereka sendiri.
05/11/2022 08:40
05/11/2022 08:40
05/11/2022 08:39
05/11/2022 08:40
05/11/2022 17:47
05/11/2022 09:22
05/11/2022 09:35
05/11/2022 09:57
05/11/2022 11:31
05/11/2022 16:19
05/11/2022 17:47
05/11/2022 16:19
05/11/2022 11:31
05/11/2022 09:57
05/11/2022 09:35
05/11/2022 09:22
05/11/2022 08:40
05/11/2022 08:40
05/11/2022 08:40
05/11/2022 08:39
Cerita
Editorial
Cerita
Sains
Editorial
Editorial
Berita
PanditSharing
Analisis
Cerita
31/10
31/10
31/10
31/10
05/11
04/11
04/11
03/11
03/11
03/11
02/11
01/11
05/11/2022 22:38
Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya
© 2016. Pandit Football Indonesia | v 2.0.5