Berkutat dengan hewan pembawa penyakit menjadi rutinitas para petugas laboratorium Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Surabaya. Setiap hari mereka berkecimpung dengan tikus dan nyamuk dari berbagai daerah. Tujuannya, mencegah kejadian luar biasa (KLB) melalui serangkaian penelitian.
AZAMI RAMADHAN, Surabaya
INSTALASI Laboratorium Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Surabaya tak pernah sepi. Para pranata laboratorium berfokus mengamati dan menyelidiki faktor risiko penyakit. Terutama pada vektor dan binatang pembawa penyakit.
Misalnya, nyamuk Aedes aegypti yang menyebarkan virus dengue penyebab demam berdarah. Juga, tikus dengan bakteri leptospira yang mengakibatkan penyakit leptospirosis. ’’Hingga saat ini, kami fokus mendeteksi leptospirosis dari tikus,’’ kata Kepala Instalasi Laboratorium Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit drh Teguh Suranta Sinulingga, Senin (31/10).
Ada beberapa laporan yang masuk tentang kasus leptospirosis. Di antaranya, laporan dari Probolinggo, Blitar, Bondowoso, Malang, dan Trenggalek.
Termasuk dari provinsi. Yakni, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Bali yang masuk naungan kerja BBTKLPP Surabaya.
’’Beberapa daerah yang terdampak banjir kami datangi. Di Trenggalek, besok (hari ini, Red) ada tim yang ke sana untuk menangkap tikus,’’ ungkap Lingga. Soal tangkap-menangkap tikus, para pranata laboratorium vektor ahlinya. Trapping tikus di daerah yang ditengarai ada kasus leptospirosis kerap dilakukan. Tak hanya saat musim hujan, tapi juga kala kemarau.
’’Menangkapnya bareng pihak puskesmas dan dinkes setempat. Tim kami juga ikut,’’ jelas alumnus dokter hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.
Prosesnya, setelah menangkap tikus di daerah yang sebagian warganya terpapar leptospirosis, mereka langsung mengidentifikasi dan membedah tikus. Salah satu organ yang diambil adalah ginjal.
Tim laboratorium kemudian menguji dengan menggunakan mesin polymerase chain reaction (PCR). Pengujian dengan PCR tak hanya dilakukan untuk kasus leptospirosis, tapi juga malaria dan demam berdarah. Sedangkan penyakit pes yang disebabkan infeksi bakteri Yersinia pestis menggunakan metode serologi.
Menurut alumnus Master of Veterinary Science Universiti Putra Malaysia itu, jumlah ginjal tikus yang diperiksa sangat banyak dan tak terhitung. Khusus leptospirosis sekitar 400 sampel pada tahun lalu. Sedangkan serum tikus, sampel untuk pemeriksaan penyakit pes rata-rata setahun 2–3 ribu.
Untuk nyamuk, pihaknya memeriksa sampel sekitar 16 pool tahun lalu. Satu pool terdiri atas 25 sampel nyamuk atau setara dengan 400 nyamuk. Bagi Lingga, saat memeriksa sampel vektor tak ada kata gentar. ’’Pengendalian penyakit dapat dilakukan semua pihak dengan tetap menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat,’’ katanya.
Koordinator Substansi Tata Usaha BBTKLPP Surabaya Joko Kasihono mengatakan, banyak sampel leptospirosis yang datang dari berbagai kota di luar aglomerasi Surabaya. Termasuk NTB, NTT, dan Bali. Hingga kini, ada 152 sampel ginjal tikus yang sudah diperiksa. Termasuk pada Kamis (20/10), ada tambahan 122 sampel yang hingga kini masih diperiksa. ’’Dari 152 sampel ginjal tikus, sebanyak 25 sampel positif mengandung bakteri leptospira penyebab leptospirosis. Surabaya dan sekitarnya aman,’’ jelasnya.
Joko menegaskan, perlu campur tangan banyak pihak untuk dapat mengendalikan penyakit yang menyerang ginjal tersebut. Pola hidup bersih dan sehat (PHBS) berbasis lingkungan mutlak diterapkan. ’’Kesadaran terhadap kebersihan ini yang harus dilaksanakan. Jangan lengah,’’ pesan alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair itu.
Editor : Dhimas Ginanjar
Reporter : */c7/may
Saksikan video menarik berikut ini:
© PT Jawa Pos Grup Multimedia