Spotlight
Selain polisi, BPOM memproses pidana dua perusahaan produsen obat yang mengandung cemaran etilen glikol. Produsen ganti melaporkan pemasok bahan baku.
Ilustrasi : Edi Wahyono
Menggelar rapat terbatas di Istana Bogor pada Kamis, 24 Oktober 2022, Presiden Joko Widodo tampak tak baik-baik saja. Sambil melihat gadget di tangannya dengan tatapan serius, Jokowi memaparkan data tingginya kasus gagal ginjal akut di Indonesia. Sampai 23 Oktober 2022, Jokowi menyebut ada 245 kasus di 26 provinsi.
Jokowi pun meminta bawahannya memberikan perhatian bersama terhadap isu ini. Dua di antara pejabat yang hadir dalam rapat itu adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny Lukito dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. “Jangan anggap ini masalah kecil. Ini adalah masalah besar,” kata Jokowi.
Dalam pertemuan itu juga, Jokowi memerintahkan BPOM mengumumkan nama-nama obat yang terbukti berbahaya serta menghentikan dan menarik peredarannya. “Yang secara evidence-based terbukti mengandung penyebab gangguan ginjal tersebut,” katanya.
Rapat terbatas itu adalah pertemuan pertama Jokowi dengan bawahannya berkaitan dengan kasus gagal ginjal akut misterius di Indonesia. Penyakit ini bukan penyakit baru, tetapi menjadi misterius karena terdapat lonjakan kasus yang signifikan sejak Agustus 2022 di berbagai daerah. Diduga, salah satu penyebabnya adalah kandungan racun pada obat sirup.
Pascapertemuan itu, Kepala BPOM Penny Lukito menyampaikan akan ada dua produsen obat yang diproses hukum. Sebelumnya, BPOM sudah melakukan pengujian terhadap sampel obat-obatan sirup yang beredar di pasaran. Pengujian itu menghasilkan temuan beberapa obat dengan kandungan senyawa etilen glikol melebihi ambang batas 0,1 mg. Etilen glikol adalah senyawa racun jika melebihi ambang batas.
“Kedeputian empat, yaitu kedeputian bidang penindakan Badan POM, sudah kami tugaskan untuk masuk ke industri farmasi tersebut, bekerja sama dengan kepolisian dalam hal ini, dan akan segera melakukan penyidikan untuk menuju pada perkara pidana,” kata Penny.
Seorang anak penderita gagal ginjal akut tengah ditunggui orangtuanya di Sumatera Barat
Foto : Iggoy el Fitra/Antara FOTO
Pemerintah baru menyadari ada anomali kasus gagal ginjal akut yang menimpa anak usia enam bulan hingga 18 tahun di Indonesia pada akhir Agustus lalu. Kala itu, Kementerian Kesehatan mendapat laporan lonjakan penyakit itu dari sejumlah rumah sakit umum pemerintah di beberapa daerah.
Semula, banyaknya penyakit itu diduga disebabkan oleh bakteri atau virus. Kemenkes pun melakukan tes patogen untuk mencari penyebabnya. Namun hasilnya sia-sia.
Pencarian terhadap penyebab baru menemui titik terang pada 5 Oktober 2022 setelah mendapat petunjuk dari perwakilan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Kepada Kemenkes, WHO menyampaikan ada gambaran kasus serupa di Gambia, sebuah negara berkembang di Afrika Barat. Di sana, banyak anak meninggal dengan kondisi gagal ginjal akut yang disebabkan oleh obat sirup.
Sejak saat itu, Kemenkes pun memfokuskan penelitian terhadap kandungan racun pada obat-obatan sirup yang beredar, bekerja sama dengan BPOM. Pada kajian awalnya, 12 Oktober 2022, BPOM memastikan obat-obatan sirup di Gambia tidak beredar di Indonesia. Sementara itu, Kemenkes mencari obat-obatan sirup yang digunakan para korban, kemudian melarang seluruh penggunaan obat sirup beberapa waktu sejak 18 Oktober 2022, untuk diteliti BPOM.
BPOM kemudian mengumumkan ada lima produk obat sirup yang mengandung racun pada 20 Oktober 2022. Lima obat itu diproduksi oleh tiga perusahaan berbeda, yaitu PT Konimex, PT Yarindo Farmatama, dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
Namun, tiga hari kemudian, BPOM mengubah informasi itu. Pengawas obat dan makanan negara ini menyebut ternyata hanya tiga produk yang dipastikan mengandung etilen glikol melebih batas aman dan seluruh obat itu diproduksi oleh PT Universal Pharmaceutical Industries. “Tiga produk telah dilakukan pengujian dan dinyatakan mengandung cemaran EG/DEG melebihi ambang batas aman,” tulis keterangan pers BPOM.
Bersamaan dengan itu, BPOM merilis nama obat-obatan sirup lainnya yang dinyatakan aman. Kemenkes pun mencabut larangan penggunaan obat sirup dua hari kemudian, tepatnya 25 Oktober 2022. Sejak saat itu seluruh obat selain tiga yang dinyatakan bahaya oleh BPOM kembali beredar di pasaran. Namun, pada 31 Oktober 2022, BPOM kembali mengubah daftar obat sirup berbahaya.
Dalam konferensi pers bersama Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri kala itu, Penny menyampaikan, bukan cuma tiga obat, tetapi ada empat obat lainnya yang melebihi ambang batas sehingga totalnya menjadi tujuh. “Ini akan dikembangkan lebih jauh lagi. Ini adalah kejahatan kemanusiaan. Kita akan mencermati dan melakukan langkah-langkah yang lebih tegas,” kata Penny.
Tujuh obat itu diproduksi oleh tiga perusahaan berbeda, yaitu PT Universal Pharmaceutical Industries, PT Yarindo Farmatama, dan PT Afi Farma. Obat yang diproduksi Afi Farma sebelumnya masuk dalam daftar obat aman yang dirilis BPOM pada 22 Oktober 2022.
Ketua BPOM Penny K Lukito menunjukkan dua macam obat siruo dengan cemaran etilen glikol melebihi ambang batas yang diproduksi oleh dua perusahaan, yaitu PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
Foto : Khadijah Nur Azizah/detikcom
BPOM dan polisi berbagi peran untuk memproses pidana ketiga perusahaan tersebut. Mereka diduga melanggar Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan karena diduga kuat memproduksi atau mengedarkan obat yang tidak memenuhi standar. Ancaman hukumannya paling lama 10 tahun dan denda Rp 1 miliar.
Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Pipit Rismanto menyebutkan Bareskrim Polri memproses pidana PT Afi Farma. Sedangkan pemidanaan PT Universal Pharmaceutical Industries dan PT Yarindo Farmatama dilakukan oleh BPOM.
Hal itu karena BPOM sudah melakukan penindakan lebih dulu terhadap dua perusahaan itu. Sebab, sejak awal BPOM langsung memeriksa sampel seluruh produk obat yang berada di masyarakat, sedangkan Polri memulai penyelidikan dari obat-obatan yang dikonsumsi para korban serta keterangan dari pihak keluarga.
Pipit menyebut timnya menemukan unsur tindak pidana PT Afi Farma karena ditemukan kandungan etilen glikol sebanyak 236,39 mg, yang standarnya hanya 0,1 mg. Artinya, jumlah itu 2.360 kali lipat dari atas ambang batas.
Sementara itu, dalam keterangan persnya pada Senin, 31 Oktober 2022, Penny membeberkan PT Universal Pharmaceutical Industries dan PT Yarindo Farmatama juga telah memproduksi obat yang tidak memenuhi standar atau khasiat mutu. Sumber bahan baku untuk obat-obatan tersebut juga tengah diusut.
BPOM menyatakan obat sirup merek Flurin DMP Sirup, yang diproduksi oleh PT Yarindo, mempunyai cemaran etilen glikol 480 kali lipat dari standar yang ditetapkan. Di samping itu, BPOM menemukan PT Yarindo mengubah bahan baku obat yang tidak memenuhi syarat. Perubahan bahan baku itu tidak dilaporkan kepada BPOM pada saat perusahaan mengajukan izin edar obat.
PT Yarindo Farmatama juga dituding tidak melakukan kualifikasi pemasok bahan baku obat. Perusahaan tersebut tidak melakukan metode analisis untuk pengujian bahan baku sesuai dengan kompendia referensi yang terkini.
Dua macam obat sirup anak yang dinyatakan mempunyai cemaran eliten glikol melebihi ambang batas
Foto: Khadijah Nur Azizah/detikcom
PT Yarindo Farmatama melalui pengacaranya, Vitalis Jebarus, mengklaim sudah memproduksi obat sirup sesuai dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Mereka juga merasa sudah memenuhi standar keamanan mutu. Namun pihaknya mendukung pengusutan jika cemaran tersebut berasal dari bahan baku.
“Sebagai pihak yang dirugikan, kami juga ingin mencari fakta penyebab tercemarnya bahan baku obat tersebut, sehingga semua perusahaan farmasi Indonesia tidak menjadi korban,” kata Vitalis sebagaimana diberitakan Antara dan dikutip detikHealth, Senin 31 Oktober 2022.
Adapun PT Universal Pharmaceutical Industries telah menguji kadar etilen glikol dalam ketiga produk mereka, yaitu Unibebi Cough Sirup (obat batuk dan flu), Unibebi Demam Sirup (obat demam), dan Unibebi Demam Drops (obat demam). Pengacara perusahaan, Hermansyah Hutagalung, bilang, setelah diketahui cemaran etilen glikol dalam obat itu melebihi ambang batas, pihaknya melaporkan pemasok bahan baku ke Polda Sumatera Utara.
Reporter: May Rahmadi, Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: May Rahmadi
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban