logo
Selamat
Logo
twitter
facebook
instagram
youtube
Selasa, 8 November 2022
08 November 2022
15:50 WIB
Penulis: Nuzulia Nur Rahma,
Editor: Faisal Rachman
JAKARTA – Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang punya prospek bagus di ekonomi digital ke depan. Laporan e-Conomy SEA memproyeksikan, ekonomi digital Indonesia akan mencapai Gross Merchandise Value (GMV) senilai US$77 miliar pada 2022, setelah tumbuh sebesar 22% selama setahun terakhir.
Hingga tahun 2025, ekonomi digital diproyeksikan mencapai US$130 miliar, tumbuh dengan Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 19%. Hingga tahun 2030 ditaksir akan kembali tumbuh lebih dari tiga kali lipat di kisaran US$220 sampai US$360 miliar.
Laporan multi-tahunan yang menggabungkan data dari Google Trends, data dari Temasek, dan analisis dari Bain & Company ini, selain memadukan informasi dari berbagai sumber di industri dan wawancara dengan para ahli, juga menyoroti ekonomi digital enam negara di Asia Tenggara. Keenamnya adalah Indonesia, Vietnam, Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina.
Di Indonesia, laoran tersebut menyebutkan, sektor e-commerce terus mendorong ekonomi digital dan nilainya diperkirakan akan mencapai US$59 miliar pada tahun 2022. Meskipun aktivitas belanja offline kini mulai kembali bergairah, sektor e-commerce menyumbang 77% dari keseluruhan ekonomi digital.
“Indonesia memiliki sektor e-commerce dengan pertumbuhan tercepat kedua (setelah Vietnam) tetapi selain GMV ada banyak dimensi pertumbuhan yang kini juga harus difokuskan,” ucap Managing Director Google Indonesia Randy Jusuf dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (08/11).
Untuk mendorong pertumbuhan jangka pendek, dia mengatakan, bisnis kini harus lebih berfokus mencapai profitabilitas, dengan memangkas biaya dan mengoptimalkan operasi. Hingga 2025, sektor e-commerce Indonesia diproyeksikan tumbuh dengan CAGR 17% dan nilai GMV mencapai US$95 miliar.
Menurutnya, setelah bertahun-tahun mengalami akselerasi, pertumbuhan penggunaan teknologi digital kini berangsur normal. Kalangan mampu dan kaum muda yang melek teknologi di perkotaan menjadi pengguna terbesar layanan digital.
“Mayoritas pemain digital mengalihkan prioritasnya dari akuisisi pelanggan baru ke menciptakan engagement yang lebih dalam dengan pelanggan yang sudah ada," jelasnya.
Baca Juga:
Layanan Digital Teratas
Dalam diskusi grup tersebut juga disebutkan e-commerce, transportasi, dan pesan-antar makanan adalah tiga layanan digital teratas di Indonesia, dengan tingkat penggunaan yang hampir merata di kalangan pengguna digital perkotaan.
Transportasi dan pesan antar makanan diproyeksikan mencapai GMV US$8 miliar pada tahun 2022 dan terus tumbuh dengan CAGR 22% menjadi GMV US$15 miliar hingga tahun 2025. Pertumbuhan permintaan berangsur normal karena makin banyak orang yang kembali pergi ke restoran.
Kemudian, orang-orang secara bertahap juga mulai kembali bekerja di kantor. Begitu juga dengan naiknya aktivitas belanja di toko fisik dan bangkitnya pariwisata, mendorong sektor transportasi untuk perlahan pulih dari titik terendah, ketika karantina wilayah diberlakukan.
Perjalanan online telah kembali dengan pertumbuhan 60% dari tahun ke tahun (YoY) mencapai US$3 miliar pada tahun 2022. Proses pemulihan diproyeksikan terjadi secara bertahap dan sektor ini diperkirakan tumbuh pada CAGR 45% dengan GMV mencapai US$10 miliar hingga tahun 2025.
Selanjutnya, media online diproyeksikan mencapai GMV US$6 miliar pada tahun 2022, dengan pertumbuhan YoY agak datar sebesar 5% sejak puncak pandemi tahun lalu. Adapun layanan streaming musik dan video juga berangsur pulih.
Begitu juga dengan iklan digital yang berhasil mempertahankan momentum. Sementara konsumsi di sektor gim online, justru mengalami penurunan seiring orang-orang kembali ke rutinitas pra-pandemi.
Untuk layanan keuangan digital, tumbuh karena adanya pergeseran perilaku offline ke online pasca-pandemi. Pada 2022, Gross Total Value (GTV) pembayaran digital di Indonesia diperkirakan mencapai US$266 miliar dan terus tumbuh sebesar 17% mencapai GTV US$421 miliar hingga tahun 2025.

Tujuan Investasi
Laporan tersebut pun menunjukkan, pada 2022, Singapura dan Indonesia menjadi dua tujuan investasi teratas di Asia Tenggara. Indonesia menarik 25% dari total nilai pendanaan swasta di kawasan ini. Dalam jangka panjang disebutkan Indonesia tetap menarik bagi investor bersama dengan Vietnam dan Filipina.
Namun, mengingat adanya hambatan ekonomi makro, nilai transaksi pada Semester 1 2022 turun US$2 miliar (YoY) akibat adanya kekhawatiran seputar profitabilitas dan valuasi. 
Layanan keuangan digital terutama yang berfokus pada pembayaran B2B dan layanan pinjaman, telah menggantikan sektor e-commerce sebagai sektor investasi teratas dengan nilai US$1,5 miliar pada Semester 1 2022.
Di seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia, lebih dari 80% Pemodal Ventura (VC) ingin lebih berfokus pada sektor-sektor baru, seperti teknologi kesehatan (health tech), SaaS, dan Web 3.0. Sementara sektor teknologi pendidikan (ed tech) mengalami penurunan pasca-pandemi, seiring dibukanya kembali sekolah-sekolah.
“Ekonomi digital Indonesia akan terus menarik minat investasi karena fundamentalnya yang kuat, seperti memiliki basis pengguna yang sangat aktif dalam jumlah besar dan ekosistem startup teknologi yang dinamis,” kata Deputy Head, Technology & Consumer and Southeast Asia, Temasek, Fock Wai Hoong.
Dia menuturkan, bekerja sama dengan sektor bisnis, pemerintah, dan masyarakat, Temasek berkomitmen untuk menggunakan modal katalis untuk memacu pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif dalam ekonomi digital Asia Tenggara. Sehingga setiap generasi dapat mencapai kesejahteraan.
Untuk menuju ekonomi digital yang lebih berkelanjutan, Fock mengatakan, Indonesia bisa menerapkan kebiasaan yang lebih positif dengan meningkatkan kesadaran di antara konsumen, bisnis, investor, dan pemerintah. Terutama emisi dan sumber daya menjadi isu lingkungan terpanas saat ini.
Ada Kesenjangan
Riset menunjukkan, ada “kesenjangan antara ucapan dan tindakan” (say-do gap) antara niat yang dinyatakan konsumen dan perilaku pembelian yang sesungguhnya. Di antara orang Indonesia yang menjadi responden survei, 48% mengatakan, mereka bersedia membelanjakan uangnya 5% lebih banyak untuk produk dan layanan yang lebih berkelanjutan. Lalu, 40% responden mengatakan, keberlanjutan adalah kriteria utama saat membeli makanan kemasan.
Namun, hanya 4% yang benar-benar mewujudkan niatnya tersebut. Ini karena banyaknya hambatan di sepanjang perjalanan pembelian, termasuk kurangnya informasi, kepercayaan, dan pilihan produk yang berkelanjutan di Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama Partner and Head of Digital Practice in Southeast Asia, Bain & Company, Aadarsh Baijal mengatakan, pertumbuhan di bidang pembayaran, pendanaan, logistik, akses internet, dan kepercayaan konsumen meningkat signifikan selama enam tahun terakhir.
"Untuk mempertahankan momentum, perlu serangkaian faktor pendukung baru yang berfokus pada profitabilitas serta diimbangi dengan perluasan inklusi digital untuk memenuhi permintaan dari aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola serta peluang yang mereka hadirkan," sebutnya.
Dia pun meyakini, ekonomi digital Indonesia tetap menjadi yang terbesar dan paling beragam se-Asia Tenggara. Penyedia layanan digital harus mengimbangi permintaan konsumen yang kuat melalui keterlibatan yang bermakna dengan berbagai demografi pengguna. Dengan demikian dapat mendorong partisipasi yang lebih dalam untuk ekonomi internet.
"Kunci untuk mempertahankan momentum positif ini adalah dengan mendorong Usaha Kecil Menengah (UKM) berakselerasi menuju pertumbuhan berikutnya, terutama dengan memperdalam adopsi digital UKM di seluruh SaaS dan alat keuangan," ucap Aadarsh.
Bagikan ke:
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on LinkedIn
Share on Whatsapp
Silahkan login untuk memberikan komentar

Login atau Daftar
Tentang kami
Redaksi
Pedoman Media Siber
Disclaimer
Privacy Policy
Kontak
©Validnews 2022 All rights reserved.

source