SPOTLIGHT
Para orang tua korban kasus gagal ginjal akut mendesak pemerintah tegas mengusut pihak yang harus bertanggung jawab. Mereka juga menuntut ganti rugi meskipun kerugian mereka tak bisa dipulihkan.
Ilustrasi: Edi Wahyono
Heru—bukan nama sebenarnya—membawa anaknya yang berusia 2 tahun ke puskesmas pada 6 Oktober 2022 karena demam. Setelah diperiksa, anaknya dibekali tiga jenis obat untuk diminum, yaitu sirup parasetamol (PT Afi Farma), tablet bromheksin, dan tablet chlorpheniramine maleate.
Tak kunjung membaik, pada 8 Oktober anaknya dibawa kembali Heru ke puskesmas untuk melakukan cek darah. Dokter menjelaskan anaknya mengalami infeksi. Akhirnya dokter memberi antibiotik, yaitu sirup Amoxicillin (PT Ifars).
Sore harinya ia mendapati si anak mengeluh sakit di bagian perut sebelah kiri dan kana. Keluhan itu juga disertai menurunnya nafsu makan, tidak kencing, dan sesak napas. Akhirnya, pada 9 Oktober, Heru membawa anaknya menuju Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Permata Hijau. Di RS tersebut, anak Heru didiagnosis dokter mengalami gagal ginjal.
Dengan kondisi itu, anak Heru dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM). Saat si anak tiba di RSCM, langsung dilakukan sejumlah pemeriksaan, termasuk tes COVID-19, yang hasilnya negatif.
“Saat itu kesadaran anak saya sudah mulai menurun,” ucap Heru saat ditemui reporter detikX.
Setelah beberapa tindakan perawatan, anaknya dibawa ke ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU). Di ruangan tersebut, Heru melihat sudah banyak anak lain dengan kondisi kritis.
Pada 11 Oktober, anak Heru diminta pindah ke ruang rawat inap karena kondisinya disebut membaik. Heru sempat heran karena anaknya belum bisa kencing tetapi diminta keluar dari ruang PICU. Ternyata, menurut petugas rumah sakit, banyak pasien lain yang antre masuk PICU dan pihak RS mengutamakan kondisi pasien yang lebih kritis.
“Waktu itu sudah dua kali cuci darah. Waktu mau cuci darah ketiga, ada yang rusak alatnya, perlu diganti. Ternyata baru besoknya bisa cuci darah, jadi telat. Anak saya akhirnya meninggal hari Jumat sekitar jam 14.00 WIB,” ujarnya.
Heru mengaku sebelumnya sempat ditegur oleh pihak RS karena anaknya dianggap mengidap COVID-19 dan telat membawa ke rumah sakit. Namun, setelah dilakukan tes, anak Heru negatif COVID-19.
Petugas gabungan Balai POM (Pengawas Obat dan Makanan) dan Polri memeriksa obat sirup di sebuah apotek di Cipocok, Kota Serang, Banten, Selasa (25/10/2022).
Foto : Asep Fathulrahman/Antarafoto
“Saya malah sempet disalah-salahin, katanya saya COVID kok tidak keburu dibawa ke RS. Dites ternyata bukan COVID. Saya juga disalahkan katanya anak saya jajan sembarangan tidak diawasi,” keluhnya.
Sukma—bukan nama sebenarnya—juga mengalami nasib serupa. Pada 5 Oktober, ia membawa anaknya ke puskesmas karena mengalami demam, batuk, dan pilek. Di sana ia diberi tiga obat, yaitu sirup parasetamol produksi PT Afi Farma, sirup cetirizine hydrochloride, dan obat serbuk atau puyer.
Setelah itu, dia memperhatikan anaknya yang baru berusia 9 bulan tersebut tidak buang air kecil sama sekali dan kondisinya memburuk. Hingga akhirnya anak Sukma tak bisa diselamatkan meski telah mendapat perawatan di RSCM.
“Kemarin semua biaya ditanggung BPJS kecuali mobil jenazah, yang harus bayar Rp 900 ribu. Namun ada keringanan dari RSCM karena uang saya tidak cukup, jadi hanya bayar sekitar Rp 580 ribu,” ujar Sukma saat bercerita kepada reporter detikX.
Rahma (bukan nama sebenarnya) juga terpaksa kehilangan buah hatinya yang baru berusia 3 tahun karena gagal ginjal akut. Pada 6 Oktober lalu, sang anak mengalami demam dan diberi obat sirup parasetamol produksi PT Afi Farma. Esoknya, demam anaknya turun. Namun, tak berselang lama, anak Rahma mulai muntah parah.
“Anak saya 15 kali muntah waktu itu,” kata Rahma kepada reporter detikX.
Setelah itu, Rahma membawa anaknya ke IGD salah satu rumah sakit dan didiagnosis mengalami gagal ginjal stadium III. Tak berselang lama, diagnosis itu berkembang dan anaknya dinyatakan gagal ginjal stadium VI. Nyawa anak Rahma pun tidak tertolong.
Tim detikX juga menemukan dua korban lain yang mengkonsumsi obat sirup parasetamol produksi PT Afi Farma. Keduanya merupakan balita berusia 6 bulan dan 1 tahun 8 bulan. Selain parasetamol sirup tersebut, salah satu balita diberi obat serbuk atau puyer. Saat ini balita berusia 6 bulan telah meninggal dunia. Adapun balita berusia 1 tahun 8 bulan sedang dalam perawatan rumah sakit.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut kasus gagal ginjal akut tidak disebabkan oleh patogen (virus, bakteri, dan parasit). Melalui serangkaian penelitian, pemerintah menyimpulkan penyebab gagal ginjal akut pada anak adalah keracunan obat.
BPOM memastikan menarik semua sirup yang terdapat cemaran etilen glikol, Minggu, (23/10/2022). 
Foto : Andhika Prasetia/detikcom
“Ada kandungan berbahaya, yaitu EG dan DEG. Ini bukan bahan baku, tetapi cemaran dari pelarut yang dipakai di pembuatan obat sirup,” jelas Menkes pada 21 Oktober 2022.
Saat ini terdapat 255 kasus gagal ginjal akut pada anak, dengan 143 korban di antaranya dinyatakan meninggal. Namun, menurut Kemenkes, sejak adanya surat edaran pelarangan konsumsi obat sirup, tidak ada temuan kasus baru. Adapun penambahan jumlah korban dikarenakan adanya korban lama yang baru terdata.
Pemerintah juga melakukan biopsi terhadap jasad pasien gagal ginjal akut misterius dan terbukti kerusakan ginjal pasien dipicu oleh cemaran etilen glikol (EG). Kemenkes menyebut laporan ini didapat berdasarkan riset yang dilakukan pihaknya terkait toksikasi.
“Sudah ada 99 balita yang meninggal. Terus 99 (pasien meninggal dunia) itu kita periksa, ada kandungan zat kimia berbahaya di dalamnya, etilen glikol,” ungkap Menkes kepada wartawan, Kamis (20/10/2022).
“Kita tarik ambil darahnya, kita lihat ada bahan kimia berbahaya merusak ginjal. Kemudian kita datangi rumahnya, kita minta obat obatan yang dia minum, itu mengandung juga bahan-bahan tersebut,” ujarnya lebih lanjut.
Ada 102 jenama obat yang sempat dikonsumsi dan Kemenkes mengambil dari 156 rumah korban gagal ginjal akut. Salah satu pejabat Kemenkes yang tidak ingin disebutkan identitasnya mengatakan merek obat yang paling banyak dikonsumsi dan ada di rumah korban adalah sirup parasetamol produksi Afi Farma.
Di sisi lain, pada 20 Oktober lalu, beredar siaran pers dari PT Afi Farma yang berisi penjelasan bahwa semua produknya tidak mengandung bahan berbahaya, seperti etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Selain itu, mereka menyatakan semua bahan baku telah terdaftar dan disetujui oleh Badan POM. Surat tersebut ditandatangani oleh Direktur Afi Farma, yaitu Arief Prasetya Harahap.
Tim detikX mencoba menghubungi nomor telepon yang tertera dalam surat edaran tersebut, tetapi tidak ada respons. Selain itu, detikX mencoba menghubungi PT Afi Farma melalui nomor call center dan kanal media sosialnya. Namun semua upaya tersebut tidak mendapatkan tanggapan.
Sementara itu, menurut edaran BPOM pada 22 Oktober 2022, sirup parasetamol Afi Farma masuk ke dalam tujuh obat yang dinyatakan aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai dari 102 obat yang diambil Kemenkes dari rumah korban.
Di sisi lain, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengungkapkan ada dua perusahaan farmasi yang akan dipidanakan. Keduanya terindikasi memiliki kandungan bahan berbahaya EG dan DEG di atas ambang aman pada produknya.
“Ada indikasinya bahwa kandungan EG dan DEG di produknya itu tidak hanya sebagai konsentrasi sebagai kontaminan, tapi sangat-sangat tinggi dan tentu saja sangat toksik. Itu tepat diduga mengakibatkan gagal ginjal akut dalam hal ini,” kata Penny pada konferensi pers di Istana Negara, Senin (24/10/2022).
Padahal, dalam rilis resmi BPOM tentang daftar produk obat sirup yang dinyatakan mengandung cemaran EG atau DEG melebihi ambang batas aman, pada 20 Oktober 2022 hanya ada tiga obat sirup dari satu produsen. Obat itu adalah Unibebi Cough Syrup, Unibebi Demam Drop, dan Unibebi Demam Syrup. Semuanya merupakan produksi Universal Pharmaceutical Industries.
Dalam kesempatan terpisah, Penny mengatakan pengujian bahan baku obat dan produk menjadi kewajiban industri obat. Adapun BPOM memiliki kewajiban melakukan pengawasan.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia Elfiano Rizaldi mengatakan, saat melakukan produksi, produsen wajib mengajukan formulasi dan bahan obat ke BPOM. Dalam formulasi itu, kandungan EG dan DEG tidak boleh melebihi ambang batas. Bila kandungan EG dan DEG melebihi batas, produk tersebut tidak memperoleh izin edar.
“Misal saya punya formulasi ini, untuk obat ini, itu harus dikasih ke BPOM dulu. Kami sudah uji misalnya, mereka periksa. Kalau kami ganti formulasi atau bahan, ya kami kirim lagi berkas pengujian dan kandungannya,” ujar Elfiano kepada reporter detikX.
Kerugian yang Tak Bisa Dipulihkan
Atas kejadian gagal ginjal akut yang menimpa anaknya, Heru meminta pemerintah melakukan pengusutan secara hukum. Menurutnya, harus ada pihak yang bertanggung jawab bila kasus tersebut disebabkan oleh keracunan obat.
“Ini itu sudah pembunuhan massal kalau memang keracunan obat. Harus diusut sampai akar-akarnya. Cabut izinnya, tindakan hukum. BPOM juga harus dibenahi. Ini kerugian saya kehilangan anak, mana bisa kerugian ini diganti,” kata Heru.
Sikap senada diutarakan Sukma. Dia menuturkan, sampai sejauh ini belum ada pendampingan maupun bantuan dari pemerintah. Ia meminta kasus gagal ginjal akut tersebut harus diusut secara hukum oleh pemerintah.
Baca Juga : Tergagap Mengungkap Misteri Gagal Ginjal
Apoteker memasang pengumuman penghentian penjualan obat sirop, di Apotek Samudra Farma, Purwokerto, Banyumas, Jateng, Jumat (21/10/2022).
Foto : Idhad Zakaria/Antarafoto
“Kalau ada ganti rugi, itu ya baik, tetapi yang penting diusut dulu,” tegasnya.
Begitu juga pendapat Rahma. Kehilangan buat hati bukanlah hal yang mudah dihadapi.
“Tentu kami ada harapan akan ada ganti rugi, walaupun ini kerugian yang tidak tergantikan bagi kami,” tegasnya.
Kepala Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Zainal Arifin mengatakan, jika terbukti benar gagal ginjal akut pada anak disebabkan oleh keracunan obat, pihak-pihak terkait dapat dipidana. Menurutnya, sanksi dan jerat pidana tidak hanya untuk produsen obat yang terbukti memiliki kandungan berbahaya. Tapi juga BPOM sebagai badan pengawas yang lalai dan membiarkan peredaran obat berbahaya.
“Bila ada kesengajaan di sana, ada pengawasan yang tidak dilakukan, atau turut serta dalam proses beredarnya obat berbahaya yang menyebabkan hilangnya nyawa, BPOM juga bisa diproses hukum sesuai Pasal 196 dan Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” ujarnya kepada reporter detikX.
Adapun Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo menjelaskan konsumen berhak memperoleh informasi yang lengkap, dalam hal ini dari BPOM sebagai pengawas dan produsen. Termasuk terkait risiko, bahan, dan kandungan dalam obat-obat tersebut. Dia mengacu pada Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen.
“Ini, ketika ada kasus, baru dijelaskan,” ucapnya kepada detikX.
Selain itu, menurutnya, konsumen obat yang terkena gagal ginjal akut berhak mendapatkan ganti rugi. Mereka yang terpapar zat beracun dari obat dan dapat pulih juga berhak mendapatkan pemantauan kesehatan. Bahkan konsumen yang telanjur mengkonsumsi obat yang dinyatakan berbahaya berhak mendapatkan medical checkup secara gratis.
“Para konsumen korban ini sebaiknya ditemukan dalam satu paguyuban untuk memudahkan proses advokasi hak-hak korban. Biasanya, kalau bersama, keberaniannya meningkat juga untuk menuntut hak-haknya,” ujarnya.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, May Rahmadi
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

source