Laporan Wartawan Tribunnews, Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah kebijakan yang sulit dihindari pemerintah, ketika harga minyak dunia terus berada dikisaran 100 dolar AS per barel seperti sekarang ini.
“Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi ini adalah ‘pil pahit’ yang harus kita telan untuk kesehatan fiskal negara,” ungkap Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, M Kholid Syeirazi di sebuah acara diskusi ekonomi di Jakarta hari ini, Rabu (7/9/2022).
Kholid menilai masyakarat khususnya mahasiswa masih terjebak pada opini populis dalam menyikapi kenaikan harga BBM, sehingga cenderung mengabaikan fakta obyektif kondisi keuangan negara, nilai tukar rupiah, dan krisis energi global.
Faktanya, ujar Kholid, konflik antara Rusia dan Ukraina telah membuat produksi dan pasokan minyak mentah dari kedua negara terhambat, sehingga terjadi kenaikan harga minyak dunia.
Harga minyak dunia sempat mencapai 140 dolar AS per barel, sedangkan asumsi ICP (Indonesian Crude Price) yang menjadi patokan APBN adalah USD 105 per barel. Tak pelak, harga keekonomian BBM di dalam negeri pun mengalami kenaikan.
Dengan asumsi ICP di 105 dolar AS per barel saja, kata Kholid, harga keekonomian BBM jenis Pertalite mencapai Rp 14.000 per liter.
Baca juga: Pengamat: Penjualan Mobil Segmen Menengah-Bawah Akan Paling Terdampak Kenaikan Harga BBM
Jika harga Pertalite tidak dinaikkan dan tetap diangka Rp 7.650 per liter, maka ada sejumlah Rp 6.350 per liter yang harus disubsidi pemerintah.
Dikalikan kuota Pertalite 2022 sebesar 23 juta Kiloliter, maka jumlah yang harus disubsidi mencapai ratusan triliun rupiah.
“Itu baru Pertalite, belum lagi BBM jenis Solar yang juga harus disubsidi pemerintah. Kalo tidak direm, anggaran subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah bisa mencapai hampir Rp 700 triliun. Duit segitu sudah hampir melampaui belanja infrastruktur,” papar Kholid Syeirazi yang juga Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU).
Dia menilai kebijakan subsidi BBM di Indonesia selama ini masih salah sasaran sebagai risiko penerapan sistem subsidi terbuka, dimana semua orang boleh membeli BBM bersubsidi, dan belum ada regulasi yang mengatur BBM untuk orang miskin.
Baca juga: Waspadai Lonjakan Inflasi Pasca Naiknya Harga BBM