Jakarta, Gatra.com – Penguatan sistem kesehatan nasional melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang berkelanjutan menjadi isu penting dalam beberapa waktu terakhir. Kehadiran pandemi Covid-19 telah menambah beban di sektor kesehatan serta membengkaknya anggaran kesehatan.
Berbagai strategi telah diupayakan pemerintah dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-Kesehatan) guna memastikan pembiayaan JKN yang berkelanjutan. Pada awal Juli 2020, BPJS menaikkan kembali tarif JKN untuk 13 juta peserta mandiri Kelas I dan Kelas II atau 6% dari total seluruh peserta BPJS. Sedangkan kenaikan tarif untuk 21 juta peserta kelas III baru akan diberlakukan pada Januari 2021.
Wakil Direktur Bidang Penelitian dan Penjangkauan The SMERU Research Institute, Athia Yumna mengatakan saat ini tantangan utama dalam penerapan JKN adalah bagaimana mencapai pembiayaan yang berkelanjutan.
“Tantangan seperti bagaimana melayani seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen di semua aspek: geografis, sosio-ekonomi, budaya, sumber daya manusia dan lain-lain, risiko penyakit tidak menular yang semakin tinggi di Indonesia serta tantangan teknis dan politis lainnya mulai dari tingkat makro kebijakan hingga ke tingkat mikro di penyedia layanan kesehatan dari pusat hingga daerah,” ujar Athia dalam rilis resmi yang diterima Gatra.com, November 2020.
The SMERU Research Institute menurutnya berperan dalam memberikan alternatif ide dan sudut pandang terkait pembiayaan yang dapat dilakukan oleh BPJS seperti bersinergi dengan sektor swasta khususnya asuransi melalui koordinasi penyelenggara, mengedepankan pelayanan promotif-preventif dan meningkatkan penerimaan pajak pemerintah melalui Sin Tax.
Upaya Mendongkrak JKN
Athia Yumna menyebutkan terdapat beberapa temuan penting dalam keberlangsungan program JKN. Di antaranya kepesertaan JKN dan kemitraan faskes terus meningkat namun belum maksimal di sebagian provinsi, proporsi peserta JKN per provinsi masih rendah disebabkan mayoritas faskes berada di Pulau Jawa.
Di sisi lain terdapat fakta bahwa sebagian besar penduduk (82%) telah tergabung dalam JKN dimana PBI (59%), dan Non PBI (41%). Hal tersebut diikuti dengan peningkatan anggaran untuk PBI senilai Rp26,7 triliun (Tahun 2018) dan sebesar Rp48,8 triliun (Tahun 2020). “Pertanyaannya apakah peningkatan anggaran kesehatan 2020 dan kenaikan iuran JKN akankah mengurangi defisit?,” ujar Athia.
Hal yang tak kalah penting dari studi SMERU yakni terungkapnya fakta bahwa dominasi pelayanan kuratif dalam JKN menjadi salah satu penyebab defisit. Dimana statistika pasien rawat inap dan rawat jalan di RS mencapai 84 persen. “Selain itu terdapat beberapa persoalan dalam layanan JKN yakni paket manfaat hampir tidak dibatasi, kualitas faskes primer rendah dimana pasien mencari pelayanan di tingkat yang lebih tinggi dan lebih mahal dan anggaran RS tidak dibatasi”.
Dirinya menambahkan dalam pembiayaan berkelanjutan diperlukan koordinasi antar penyelenggara yakni asuransi kesehatan komersial mitra BPJS dan BPJS kesehatan. Oleh karenanya, The SMERU Research Institute mengeluarkan beberapa rekomendasi berdasarkan FTF 2019 untuk memastikan pembiayaan berkelanjutan yakni meningkatkan ruang fiskal dan meningkatkan efisiensi JKN.
Pertama, meningkatkan ruang fiskal. Terdapat beberapa upaya yang dilakukan yakni implementasi pajak dosa (Sin Tax), mengubah subsidi penuh menjadi subsidi sebagian, dan meningkatkan kerja sama dengan sektor swasta. Kedua, meningkatkan efisiensi. Upaya yang bisa dilakukan yakni kendali biaya, sentralisasi procurement, dan penerapan Health Technology Assessment (HTA).
Pentingnya Kolaborasi
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dr. Asih Eka Putri, MPPM, menekankan pentingnya efektivitas kolaborasi sektor swasta dengan pemerintah. “Selain koordinasi penyelenggara guna mengoptimalkan implementasi JKN tentunya kami mendorong perusahaan-perusahaan untuk memastikan status keanggotaan BPJS karyawannya tetap aktif. Dan apabila belum terdaftar, untuk segera didaftarkan.”
Asih mengatakan pemanfaatan integrasi dan sentralisasi data pasien antara BPJS dengan rumah sakit di Indonesia diperlukan untuk memperkuat program JKN ke depannya. Keberlanjutan Penyelenggaraan JKN menurutnya menghadapi tantangan defisit struktural akibat iuran tidak cukup mendanai manfaat sejak 2014.
“Obat yang tepat untuk mengatasi defisit struktural adalah restrukturisasi JKN yaitu penataan sistemis yang mencakup peraturan dan kebijakan, keuangan, kelembagaan, tata kelola penyelenggaraan JKN serta penguatan partisipasi publik. Kenaikan iuran adalah bagian dari restrukturisasi JKN yang dilakukan secara bergotong-royong oleh publik bersama pemerintah,” ujarnya.
Presiden Direktur Novartis Indonesia, Jorge Wagner mengatakan kemitraan yang berkelanjutan dengan sektor swasta khususnya industri farmasi dalam menjaga keberlangsungan pembiayaan JKN sangat penting. “Tujuan utama dari kemitraan ini sejatinya adalah untuk kepentingan pasien dan peningkatan kesehatan masyarakat di Indonesia secara umum,” katanya.
Dirinya menambahkan perluasan akses obatan-obatan yang inovatif berdasarkan riset dengan pengembangan teknologi terkini dapat secara signifikan memberikan manfaat bagi pengobatan pasien. “Dengan biaya yang efektif bagi pemerintah sehingga memberikan ruang pada industri farmasi agar produk inovatifnya dapat bermanfaat untuk lebih banyak pasien di Indonesia”.
Kebijakan Anggaran Kesehatan
Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan, Didik Kusnaini menyebutkan terdapat beberapa tantangan kebijakan di bidang kesehatan. Antara lain anggaran sektor kesehatan masih cenderung lebih besar untuk pendanaan intervensi kuratif, prevalensi stunting dinilai masih tinggi, serta kinerja dan akses pelayanan kesehatan termasuk fasilitas dan tenaga kesehatan masih kurang memadai.
“Implementasi program JKN masih kurang efektif khususnya untuk masyarakat penerima bantuan iuran (PBI) karena kualitas dan validitas data PBI yang kurang baik serta akses peserta PBI atas layanan kesehatan yang belum optimal,” ujar Didik dalam rilis yang diterima Gatra.com.
Ia menyebutkan prevalensi penyakit menular utama (HIV/AIDS, TB, dan malaria) di Indonesia masih tinggi. Selain itu, faktor risiko penyakit tidak menular seperti obesitas, merokok dan tekanan darah tinggi cenderung meningkat.
Didik mengungkapkan terdapat tantangan anggaran kesehatan di tahun 2021. Tantangan tersebut di antaranya belanja kesehatan meningkat namun outcome belum optimal, ketersediaan supply side (faskes, alkes, dan nakes) belum memadai.
Keberlanjutan program JKN menurutnya juga mempunyai tantangan yakni defisit program yang meningkat yakni terjadi ketidakseimbangan iuran dan biaya manfaat. “Di samping itu terdapat kerentanan kesiapan kesehatan untuk menghadapi kemungkinan darurat kesehatan di masa depan,” katanya.
Untuk diketahui anggaran di bidang kesehatan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Yakni sebesar Rp92,8 triliun (tahun 2016), Rp92,2 triliun (tahun 2017), Rp109 triliun (tahun 2018), Rp113,1 triliun (tahun 2019). Untuk tahun 2020 anggaran kesehatan diperkirakan meningkat mencapai Rp212,3 triliun.
“Anggaran kesehatan 2020 meningkat akibat tambahan biaya penanganan Covid-19 bidang kesehatan Rp75 triliun dan anggaran Gugus Tugas Covid-19 Rp3,5 triliun,” ujar Didik.
Didik menambahkan JKN yang berkesinambungan dalam menjaga keseimbangan fiskal dengan cara pemungutan tarif iuran yang optimal, manfaat yang rasional, serta kolektabilitas yang tinggi. Pemerintah menurutnya punya fokus untuk memajukan reformasi sistem kesehatan yang terdiri dari percepatan pemulihan Covid-19, program generasi unggul, sinergi/koordinasi pusat dan daerah, Health Security Preparedness, dan reformasi JKN
Praktik pembiayaan dan pengelolaan Social Health Insurance menurutnya dapat berasal dari lima (5) sumber dana yakni: Tax-based: General taxation, Tax-based: Earmarked tax, Pendanaan bersumber pada iuran (premium based), Household out of pocket (iuran biaya) dan Philantropy/Charity.
Kebijakan Tax-based: General taxation telah diterapkan di beberapa negara seperti: Inggris, Malaysia, Swedia dan Brazil. Sementara Tax-based: Earmarked tax pada tembakau digunakan untuk membiayai promosi pelayanan kesehatan di Victoria (VicHealth), Western Australia (Healthway), Australia Selatan (Foundation SA), dan the ACT (Healthpact).
Selanjutnya ada Philippines Sin Tax Law (STL) yang berhasil mereformasi earmarking terhadap produk tembakau dan alkohol untuk mempromosikan kesehatan dan memperluas cakupan kepesertaan asuransi Phill Health. Lalu earmarked tax juga diberlakukan di State New York, Amerika berupa pajak terhadap rokok, biaya tambahan rumah sakit dan polis asuransi yang digunakan untuk subsidi terhadap pembiayaan di rumah sakit dan reimburse bagi warga yang tidak memiliki asuransi.
“Untuk Tax-based: Earmarked tax bersumber dari income atau payroll taxes, general revenue, VAT, tobacco, alcohol dan konsumsi lain,” ujar Didik.

source