Jakarta, CNBC Indonesia – Nilai tukar yen Jepang mencatat penguatan 4 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) dan 6 hari beruntun melawan rupiah. Penguatan tersebut terjadi setelah Jepang resmi memiliki perdana menteri baru pasca pengunduran diri Shinzo Abe.
Melanir data Refinitiv, yen membukukan penguatan sebesar 1,33% selama 4 hari menguat melawan dolar AS hingga Kamis kemarin. Sementara melawan rupiah, yen menguat 1,66% dalam 6 hari perdagangan.
Sementara pada hari ini, Jumat (18/9/2020), pukul 11:20 WIB yen melemah tipis 0,07% melawan dolar AS di 104,80/US$, sementara melawan rupiah turun tajam 0,74% ke Rp 140,44/JPY
Rabu (16/9/2020), Jepang resmi memiliki perdana menteri baru, Yoshihide Suga, menggantikan Shinzo Abe yang mengundurkan diri akibat masalah kesehatan setelah menjabat selama 8 tahun.
Kebijakan ekonomi Abe sebelumnya dikenal dengan “Abenomics”, guna membangkitkan perekonomian Jepang yang mengalami stagnan dalam waktu yang sangat lama. Kebijakan tersebut terdiri dari pelonggaran moneter, stimulus fiskal melalui belanja pemerintah, serta reformasi struKtural.
Kini, di bawah kepemimpinan Yoshihide Suga, Jepang memasuki era “Suganomics”, tetapi para analis memperkirakan kebijakan tersebut tidak akan jauh berbeda dengan “Abenomics”.
Dalam konferensi pers pertamanya, Suga mengatakan akan melakukan yang terbaik untuk melindungi tenaga kerja Jepang sembari menanggulangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19).
Menurut Katsumi Ishibashi dari Fidelity International, ada 3 hal yang akan menjadi perhatian utama pelaku pasar terhadap kebijakan PM Suga.
“Kebijakan ekonomi pemerintah, reformasi structural dan deregulasi, serta stabilitas pemerintahan akan menjadi 3 perhatian utama,” katanya.
Kemarin, bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) saat mengumumkan kebijakan moneter mengatakan akan bekerja sama dengan Pemerintahan PM Suga, guna memerangi Covid-19 serta dampaknya ke perekonomian. Gubernur BoJ, Haruhiko Kuroda bahkan mengatakan siap untuk menambah stimulus moneter jika diperlukan.
“Target utama kami adalah inflasi. Tetapi jelas kami juga bekerja untuk pertumbuhan ekonomi yang sehat, termasuk kondisi pasar tenaga kerja,” kata Kuroda sebagaimana dilansir Reuters.
“Ketika inflasi masih rendah, bukan berarti kami tidak mempertimbangkan untuk memberikan stimulus tambahan. Tentu saja, kami mempertimbangkan tambahan stimulus jika beberapa faktor, seperti pasar tenaga kerja dan demand, yang membuat inflasi kembali turun,” katanya.
Rencana stimulus tambahan tersebut seharusnya memberikan tekanan bagi yen, tetapi hingga kemarin masih terus menguat.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

source