Editor Pendidikan + Anak Muda
Associate lecturer in Communication, Universitas Padjadjaran
Ketua Prodi Magister Ilmu Politik, Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIP, Universitas Diponegoro
Lihat semua mitra
Akademisi menilai kebijakan #KampusMerdeka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sangatlah ironis karena hanya mengatur urusan birokrasi kampus dan tidak menjamin hak mahasiswa untuk bebas berpendapat.
Paket kebijakan tersebut memuat empat poin perubahan – di antaranya terkait akreditasi dan pembukaan program studi baru – yang diharapkan menjembatani jurang yang masih lebar antara universitas dan dunia profesional.
Namun, tidak ada satu pun klausul yang menjamin kebebasan mahasiswa untuk mengeluarkan pendapat.
Padahal, laporan terkini dari organisasi hukum Lokataru Foundation, misalnya, mencatat sejak 2015 terdapat setidaknya 110 mahasiswa di Indonesia yang mendapat sanksi dari pihak kampus karena terlibat aksi demo.
Tren pemberian sanksi ini mengalami peningkatan sejak demo #ReformasiDikorupsi akhir September tahun lalu. Peneliti Lokataru menuding bahwa ini merupakan upaya pemerintah untuk meredam demonstrasi susulan yang dapat “mengusik rencana pemerintah”.
Dua dekade lebih telah berlalu sejak berhentinya kebijakan Orde Baru yang membatasi kebebasan mengeluarkan pendapat di kampus lewat program Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK), namun represi hak sipil mahasiswa – di antaranya menyuarakan pendapat, berdemonstrasi, dan berorganisasi – masih dibiarkan.
Berikut adalah masukan dari dua akademisi bagaimana pemerintah dapat mewujudkan lingkungan kampus yang benar-benar merdeka tidak hanya secara fisik tapi juga dalam alam pikiran.
Laila Alfirdaus, seorang dosen ilmu politik di Universitas Diponegoro mengatakan bahwa langkah awal yang harus dilakukan Kemendikbud dalam melindungi hak sipil mahasiswa adalah meminimalisasi intervensi pemerintah dalam setiap keputusan strategis di universitas.
Yang utama adalah dalam pemilihan rektor.
“Intervensi pemerintah pusat masih sangat besar. Salah satu contoh paling konkret itu dalam pemilihan rektor, karena itu punya implikasi politik,” katanya.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri, calon rektor harus lolos “uji rekam jejak” yang dilakukan kementerian dan mendapatkan persetujuan 35% suara dari menteri.
Bagi Laila dan juga Kunto Adi Wibowo, dosen komunikasi di Universitas Padjadjaran, syarat-syarat di atas rawan berujung pada hanya terpilihnya rektor yang direstui pemerintah.
Mereka berharap proses tersebut dikembalikan ke lingkungan kampus saja secara transparan dan demokratis.
“Itu punya implikasi terhadap pola pikir di lingkungan kampus, seperti waktu kasus demo mahasiswa September kemarin,” kata Laila.
Baca juga: Memahami universitas sebagai ajang pertempuran ideologi politik
“Menteri Nasir waktu itu terlihat ketakutan dengan makin membludaknya demo mahasiswa dan beberapa rektor mengikuti instruksinya untuk mengekang demonstrasi dengan itu [larangan dan sanksi].”
Pemilihan rektor yang didukung pemerintah juga menghambat kebebasan akademik.
Hal ini terlihat dalam kasus dikeluarkannya empat mahasiswa Universitas Khairun (UNKHAIR) baru-baru ini karena terlibat dalam aksi yang mendukung kemerdekaan Papua Barat.
Pihak universitas menjelaskan alasan pemberian sanksi ini karena aksi keempat mahasiswa tersebut “bertentangan dengan bangsa”.
Berkaca pada pengalamannya mengenyam pendidikan di Wayne State University, Amerika Serikat (AS), Kunto menceritakan bagaimana kampus di AS memiliki perlindungan kebebasan berpendapat yang kuat untuk mahasiswa maupun dosen.
Berdasarkan keputusan kasus Mahkamah Agung AS tahun 1957, universitas negeri di AS diwajibkan secara hukum untuk melindungi berbagai pandangan yang dilayangkan warga kampus, tanpa diskriminasi.
Bahkan hukum di beberapa negara bagian AS – California dan New Jersey, misalnya – mewajibkan hal serupa untuk kampus swasta.
Meskipun ia mengakui bahwa Indonesia dan AS memiliki budaya kebebasan berpendapat yang berbeda jauh, Kunto tetap berharap bahwa hal tersebut dapat diterapkan pada setidaknya institusi pendidikan tinggi di Indonesia.
“Nah itu juga bisa diterjemahkan dalam bentuk deregulasi, menghapuskankan [wewenang] kampus untuk membelenggu kebebasan berpikir seperti melalui larangan diskusi hak LGBT [Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender] atau diskusi (terkait gagasan) marxisme di kampus,” katanya.
“Kalau di kampus mikir saja tidak boleh, misal memperdebatkan isu Papua tidak boleh, label ‘merdeka’ apapun menjadi tidak berguna.”
Laila, yang juga sempat mengenyam pendidikan di Australian National University, mengatakan peran universitas harusnya diarahkan untuk menjaga keamanan sebaik mungkin ketika terjadi aktivisme tanpa membedakan pandangan politik.
“Regulasinya lebih ke bagaimana mengamankan dan menjaga keselamatan mahasiswa saat mereka mengekspresikan pikiran mereka sepanjang tidak melanggar hak dan membahayakan orang lain,” katanya.
University of California di Berkeley, AS – yang berkomitmen melindungi kebebasan berpendapat di kampus bahkan sejak Perang Vietnam – menghabiskan lebih dari Rp55 miliar pada tahun 2017 untuk mengamankan berbagai acara diskusi yang dianggap kontroversial.
“Inilah kenapa kebebasan berekspresi sangat bisa dinikmati di kampus Amerika dan Australia.”
Di samping kebijakan tentang kebebasan akademik, Kunto mengatakan bahwa pihak kampus juga harus membenahi mentalitasnya dalam menghadapi pihak yang kerap menekan kampus untuk membatasi hak sipil mahasiswa – misalnya organisasi masyarakat (ormas).
Contohnya, pembubaran diskusi tentang Konflik Nduga di Papua yang diselenggarakan Pers Mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) pada Agustus tahun lalu dibubarkan oleh rektorat karena ditekan ormas keagamaan.
Lalu kasus pembubaran pers mahasiswa oleh Universitas Sumatra Utara (USU) tahun lalu karena penerbitan cerpen dengan tema LGBT. Pimpinan redaksi mengungkapkan bagaimana ia ditekan pihak kampus untuk menarik cerpen karena dianggap “meresahkan” warga USU dan juga masyarakat.
Kunto mengatakan bahwa pada kasus-kasus seperti di atas, universitas harusnya memiliki keberanian untuk membela kebebasan akademik mahasiswanya.
Baca juga: UU Sisnas Iptek mengingatkan kembali tentang pembatasan kebebasan akademik di era Orde Baru, kata akademisi
“Kampus seakan tidak punya daya tawar ketika berhadapan dengan masyarakat atau kelompok penekan – misal isu LGBT, marxisme, atau lainnya – padahal harusnya kampus punya wibawa akademik,” katanya.
“Karena kampus tidak punya kewibawaan ini, makanya bisa dicampuri oleh orang-orang yang tidak punya latar belakang akademik sama sekali, yang istilahnya hanya punya normativitas [berpegang pada norma yang berlaku] secara sempit.”
Sepakat dengan pendapat Kunto, Laila mengatakan bahwa budaya deliberasi [perdebatan dan argumentasi] akademik harus ditegakkan oleh seluruh warga dan administrator universitas.
“Soal nanti sepakat atau tidak di akhir, itu bebas. Itu kan kultur deliberasi. Kalau yang membubarkan malah universitas – yang harusnya melindungi kebebasan akademik – terus ke depannya bakal seperti apa? Kan mengerikan,” katanya.
Tulis artikel dan bergabung dengan komunitas akademisi dan peneliti yang terus tumbuh dengan lebih dari 146.700 dari 4.378 lembaga.
Daftar sekarang
Hak cipta © 2010–2022, The Conversation