Sumber gambar, AFP/Getty Images
Foto ilustrasi. Sebanyak 15 kasus hepatitis akut misterius telah ditemukan di Indonesia sejak 27 April 2022.
Kementerian Kesehatan melaporkan telah menemukan 18 dugaan kasus Hepatitis Akut yang belum diketahui penyebabnya sejak 27 April 2022. Sebanyak tujuh dari 18 pasien tersebut telah meninggal dunia, namun belum dipastikan apakah mereka meninggal karena penyakit Hipertensi Akut atau ada faktor lainnya.
Hal itu dipaparkan Juru Bicara Kementerian Kesehatan sekaligus Direktur Utama RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, dr Mohammad Syahril, Sp.P, MPH dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (13/05).
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan Kementerian Kesehatan saat ini tengah melakukan koordinasi dan diskusi dengan Pusat Pencegahan Penyakit Menular Amerika Serikat (CDC), Inggris, dan WHO untuk mencari tahu penyebab penyakit misterius tersebut.
"Kesimpulannya belum bisa dipastikan virus apa yang 100 persen menyebabkan adanya penyakit hepatitis akut ini. Sekarang penelitian sedang dilakukan bersama-sama oleh Indonesia bekerja sama dengan WHO, AS, dan Inggris agar bisa dideteksi cepat penyakit ini," jelasnya.
"Kemungkinan besar adalah Adenovirus strain [galur] 41, tapi ada juga banyak kasus yang tak ada Adenovirus 41 ini. Masih dicari penyebabnya bersama-sama," tambahnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut virus hepatitis akut misterius menular melalui asupan makanan yang masuk melalui mulut.
"Virus ini [hepatitis akut misterius] menular lewat asupan makanan, lewat mulut. Kalau bisa rajin cuci tangan," kata Budi.
Dia mengungkap virus ini mayoritas menyerang balita dan mereka yang berusia di bawah 16 tahun.
"Menyerang lebih banyak di bawah 16 tahun, lebih banyak lagi di bawah lima tahun," ujarnya.
Baca juga:
Kementerian Kesehatan diminta mulai memperbanyak penyebaran informasi mengenai hepatitis akut di tengah bertambahnya tiga kasus baru dan serbuan hoaks bahwa penyakit itu disebabkan oleh vaksin Covid-19.
Epidemiolog dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, mengatakan vaksin Covid-19 sebagai pemicu hepatitis akut tidak berdasar. Mayoritas anak yang terkena penyakit ini berusia di bawah lima tahun dan belum divaksinasi.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mendeteksi ada dua kelompok yang "mencetuskan dan mengonsumsi" misinformasi itu, yakni kalangan anti-vaksin dan anti-vaksin dari negara Barat.
Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, menyatakan penyakit ini menjangkit sekitar 230 anak di 20 negara termasuk Indonesia.
Gejala yang diderita anak-anak termasuk mual, muntah, diare dan sakit perut – sebelum hati mereka menunjukkan tanda-tanda peradangan.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Foto ilustrasi. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung di Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan tiga kasus suspek hepatitis akut ini dilaporkan pada Selasa (3/5) oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
"Kita belum bisa menyatakan mereka positif hepatitis akut atau tidak, karena masih dalam proses pemeriksaan laboratorium," ujar Siti Nadia Tarmizi kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (04/05).
"Kondisi mereka masih baik, tapi akan dimonitor ada perburukan atau tidak."
Adapun proses investigasi untuk tiga anak yang meninggal di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dengan dugaan hepatitis akut, kata Nadia, belum dilakukan lantaran orangtua masih dalam kondisi berduka.
Nantinya penyelidikan itu akan menelusuri riwayat anak tersebut sebelum tertular, termasuk faktor risikonya.
"Kita ingin lebih mengetahui dimana dia tertular, penyebab penularan, adakah anggota keluarga lain yang juga positif sebelum atau sesudah anak itu terkena hepatitis akut."
Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu
Episode
Akhir dari Podcast
Informasi mengenai hepatitis akut dari pemerintah, menurut pemantauan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), belum masif untuk bisa dijadikan panduan awal bagi masyarakat.
Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, mengatakan publik masih bingung bagaimana menyikapi penyakit yang belum diketahui penyebabnya ini.
"Kita lihat panduan dari Kemenkes masih normatif, jaga kebersihan. Tapi masyarakat butuh informasi lebih lanjut dan butuh diberi informasi secara berkelanjutan agar tidak cemas dan ketika misalnya harus siap, mereka tahu apa yang harus dilakukan," imbuh Septiaji Eko Nugroho.
Di tengah keterbatasan informasi, dia khawatir hoaks dan teori konspirasi mengenai hepatitis akut akan masuk dan menyebar lantaran bahasa yang dipakai 'mengena' sehingga orang mudah percaya.
Salah satu misinformasi yang muncul yaitu hepatitis akut disebabkan oleh vaksin Covid-19 yang menggunakan vektor adenovirus seperti AstraZeneca.
Pantauan Mafindo, setidaknya ada dua kelompok yang mencetuskan dan mengonsumsi misinformasi tersebut.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Kader PKK mengukur berat badan bayi di Posyandu Bougenvile, Pemancar, Depok, Jawa Barat, Rabu (6/4/2022). Epidemiolog khawatir Indonesia bisa sangat rawan terhadap hepatitis akut lantaran kasus gizi buruk dan stunting anak di bawah usia lima tahun meningkat sejak pandemi.
Pertama, kalangan anti-vaksin di Indonesia.
"Mereka menggunakan informasi hepatitis sebagai bukti ini dampak buruk orang yang menerima vaksin Covid-19. Vaksin yang berbasis adenovirus dikaitkan dengan fenomena hepatitis akut."
Kedua, kalangan anti-vaksin dari negara Barat.
"Mereka ini tidak anti-vaksin, tapi anti-vaksin Barat. Tapi mereka percaya vaksin dari China. Nah mereka mengambil isu ini sebagai bukti 'ngapain pakai vaksin berbasis adenovirus. Jangan mau divaksin dari Barat'."
Eko Nugroho, khawatir serangan hoaks maupun misinformasi soal hepatitis akut akan sama seperti virus Covid-19 mula-mula melanda Indonesia pada 2020.
Kala itu Indonesia menjadi negara nomor lima yang paling banyak penyebaran teori konspirasi Covid-19. Setidaknya ada 1.060 hoaks seputar virus Corona dalam rentang Januari 2020 hingga Juli 2021.
"Ini bisa jadi akan berulang kalau kita enggak belajar dari tahun 2020. Saya rasa, ketika situasi masih awal Kemenkes, Kominfo perlu bekerjasama untuk membuat langkah demi memastikan masyarakat tidak sampai kekosongan narasi."
Epidemiolog dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman, mengatakan penyakit hepatitis tidak bisa dilepaskan dari pandemi Covid-19.
Sebab pada tahun 2020 di Wuhan, terdapat temuan bahwa SARS-CoV-2 menyebabkan penurunan fungsi hati atau radang hati.
Namun begitu, kasus yang muncul pada anak tidak terlalu banyak dan umumnya tidak bergejala atau memiliki gejala ringan.
Dan kalaupun bergejala, anak tersebut mengalami gangguan imunitas.
"Pada kasus ini (hepatitis akut yang positif adenovirus), terjadi pada anak yang sehat atau tidak ada gangguan imunitas. Ini yang sedang diteliti," ujar Dicky Budiman.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Kader PKK mengukur lingkar kepala balita di Posyandu Bougenvile, Pemancar, Depok, Jawa Barat, Rabu (6/4/2022). Epidemiolog khawatir Indonesia bisa sangat rawan terhadap hepatitis akut lantaran kasus gizi buruk dan stunting anak di bawah usia lima tahun meningkat sejak pandemi.
Dicky juga mengatakan tidak ada data yang kuat untuk mengaitkan hepatitis akut dengan vaksin Covid-19.
Ini karena kebanyakan anak yang terinfeksi hepatitis akut belum divaksinasi.
"Hepatitis akut ini paling banyak kasus kepada anak di bawah lima tahun. Kalau misalnya disebabkan vaksin, orang dewasa lah yang seharusnya paling banyak kena."
"Jadi kita belum tahu penyebabnya apakah betul dari SARS-CoV-2 atau virus lain, atau ada varian baru?"
Hingga kini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) pada kasus hepatitis akut yang menyerang anak-anak di Eropa, Amerika dan Asia dan belum diketahui penyebabnya sejak 15 April 2022.
Dicky justru khawatir Indonesia bisa sangat rawan terhadap hepatitis akut lantaran kasus gizi buruk dan stunting anak di bawah usia lima tahun meningkat sejak pandemi.
Perwakilan UNICEF untuk Indonesia mencatat sebelum terjadi pandemi ada sekitar 2 juta anak menderita gizi buruk dan lebih dari 7 juta anak mengalami stunting.
Belum lagi persoalan sanitasi di Indonesia masih jauh dari ideal. Data Kemenkes menunjukkan ada 8,6 juta rumah tangga yang anggota keluarganya mempraktikkan buang air besar sembarangan per Januari 2020.
Platform media sosial Facebook dan aplikasi percakapan seperti WhatsApp menjadi medium yang gencar menyebarkan hoaks maupun misinformasi, kata Mafindo.
Seorang ibu satu anak di Jakarta, Ayu Poernamaningrum, pernah melihat sendiri temuan Mafindo.
Ia mengaku pernah membaca komentar sebuah akun di Facebook yang menyebut bahwa hepatitis akut disebabkan vaksin Covid-19.
Misinformasi seperti itu, kata dia, menambah cemas apalagi pandemi belum sepenuhnya berakhir dan sekolah tatap muka sudah diberlakukan kembali.
"Terus terang panik banget, ini pandemi belum berakhir, ada lagi penyakit yang bikin anak kecil meninggal. Sedangkan anak diare atau demam hal biasa. Jadi untuk gejala awal, ibu-ibu nggak terlalu paham kalau itu penyakit hepatitis akut," imbuh Ayu.
"Ditambah mereka sudah masuk sekolah, sudah enggak bisa terkontrol deh, main apa, tukeran makanan."
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Foto ilustrasi. Orangtua di Jakarta cemas dengan penyakit hepatitis akut yang baru terdeteksi di Indonesia, di tengah sekolah tatap muka sudah diberlakukan kembali.
Sejak Kemenkes mengumumkan adanya tiga anak di Jakarta meninggal dengan dugaan hepatitis akut, Ayu mencari sendiri informasi soal penyakit itu dengan menjelajahi situs dari luar negeri.
Di Indonesia, menurutnya, belum terlalu fokus dan tidak detail membahas penyakit tersebut.
"Disebutkan sih oleh Kemenkes gejalanya, tapi nggak detail misalnya anak yang meninggal itu riwayatnya bagaimana. Supaya kita tahu kemungkinan-kemungkinan kena di mana dan seperti apa nularnya."
"Detil-detil itu yang mestinya dijelaskan, biar waspada."
Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, meminta pemerintah mulai menerbitkan informasi prebunking untuk menangkal misinformasi soal hepatitis akut.
"Prebunking itu melakukan deteksi dan prediksi terhadap hoaks sehingga sebelum hoaks itu tersebar kita sudah ketemu klarifikasi atau edukasinya. Itu yang perlu pemerintah buat sekarang dan disebarkan sekarang."
"Kalau prebunking kan yang disasar kepercayaan masyarakat. Sehingga masyarakat tidak lari ke tempat lain."
Sebab jika tidak ditangkis, maka publik akan kehilangan kepercayaan pada tenaga medis dan akhirnya mengambil keputusan sendiri.
"Yang kita khawatirkan wabah bisa lebih parah dampaknya ketimbang ketika masyarakat tidak termakan hoaks. Dalam kasus Covid-19, masyarakat yang percaya hoaks mereka tidak mau ke rumah sakit akhirnya meninggal."
Menjawab desakan itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung di Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pemerintah masih mengandalkan aplikasi hoax buster di situs Covid19 milik Kominfo.
Dengan aplikasi itu, informasi tidak benar akan dilabeli hoaks dan disebarkan.
"Cuma kalau unggahan di aplikasi privat sulit, kecuali sudah viral."
© 2022 BBC. BBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal. Baca tentang peraturan baru terkait link eksternal.

source