Akses DDTC News lebih mudah karena semua informasi pajak sekarang ada dalam genggaman Anda.
Akses DDTC News lebih mudah karena semua informasi pajak sekarang ada dalam genggaman Anda.
Menteri Keuangan J.B. Sumarlin.
JAKARTA, Juni 1987. Roda-roda perekonomian Indonesia masih belum berputar kencang. Dampak akibat jatuhnya harga minyak masih memukul. Reformasi pajak, yang diharapkan bisa menggantikan penerimaan migas, baru berjalan 2 tahun. Praktis belum bisa banyak diharapkan.
Harga minyak yang turun memberi kontribusi cukup besar pada kenaikan defisit neraca pembayaran. Kondisi ini dipersulit oleh kian turunnya harga berbagai komoditas ekspor. Celakanya, pada saat yang bersamaan muncul spekulasi di pasar valuta asing yang mengganggu stabilitas moneter.
Tak punya pilihan lain, Menteri Keuangan ad Interim J.B Sumarlin akhirnya melakukan pengetatan moneter. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), fasilitas diskonto, dan tingkat rediskonto Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) pun dinaikkan. Sebaliknya, pagu SBPU secara bertahap diturunkan.
Pemerintah juga menginstruksikan pengalihan dana milik sejumlah BUMN ke perbankan untuk ditempatkan di SBI. Total ada sekitar Rp800 miliar dana milik PT Taspen, PT PLN, PT Pusri, dan PT Pertamina yang dikonversikan. Akibatnya, mudah ditebak, terjadi kontraksi moneter.
Namun, kebijakan itu otomatis membuyarkan harapan para spekulan untuk menggali untung lebih dalam akibat devaluasi rupiah. Kebijakan yang kemudian dikenal sebagai Gebrakan Sumarlin I itu secara efektif telah bekerja membalikkan arus uang keluar menjadi uang masuk.
“Paket deregulasi ini bagian dari proses berkelanjutan untuk menstimulus perekonomian domestik dan menggenjot ekspor, dengan membuat ekonomi kita lebih kompetitif,” kata Sumarlin saat merilis paket tersebut.
Pertumbuhan ekonomi 1987 yang terjerembab ke 4,93% akhirnya bangkit kembali ke 5,78% setahun berikutnya, hingga mencapai 7,46% pada 1988, beriringan dengan diluncurkannya paket deregulasi 27 Oktober 1988 (Pakto 88). Hanya dengan modal Rp10 miliar, orang bisa mendirikan bank.
Sejak itu, ekspansi kredit perbankan melonjak. Jumlah bank tumbuh berlipat-lipat. Pasar modal pun booming. Namun, kemudahan yang diberikan itu perlahan mengerek laju inflasi. Pada saat yang sama muncul desas-desus akan dilakukannya devaluasi. Masyarakat pun mulai berburu dolar AS.
Pengalaman pahit devaluasi mata uang yang terjadi pada 1978, 1983 dan 1986 masih menjadi momok. Pada 1990 itu, muncul pula spekulasi jatuhnya harga minyak. Jika spekulasi tersebut terus dibiarkan, cadangan devisa yang saat itu sudah semakin tergerus cepat atau lambat bakal habis.
Menteri Keuangan Sumarlin akhirnya kembali melakukan pengetatan moneter. Gebrakan Sumarlin II, demikian masyarakat menyebutnya. Dana Rp8 triliun milik 12 BUMN dibelikan SBI. Sebanyak 75% dari dana itu lalu dikembalikan ke bank-bank bersangkutan melalui instrumen SBPU, sisanya dilelang.
Penarikan dana itu menyedot uang beredar. Dengan sendirinya, situasi ini menghela bunga deposito naik hingga 30%. Biaya dana perbankan pun menjadi mahal. Untungnya keadaan ini tidak lama. Bunga segera melandai setelah Presiden Soeharto menegaskan tidak akan ada devaluasi.
Pada era 90-an itu pula Presiden Soeharto mengakhiri hubungannya dengan teknokrat yang sejak awal mengelola ekonomi Orde Baru. Pada 1993, secara mengejutkan, Presiden membuang alumnus Berkeley dari kabinet—termasuk Gubernur BI Adrianus Mooy yang dijadikan Duta Besar di Belgia.
Emil Salim, alumnus Berkeley kakak kelas Sumarlin, tidak diangkat lagi jadi menteri kabinet. Sumarlin sendiri, yang menurut kebiasaan seharusnya naik menjadi Menko Ekonomi, Keuangan, Industri dan Pengawasan Pembangunan, malah dibuang ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tak bergigi.
Pada 1994, Sumarlin malah dikaitkan dengan Eddy Tansil, pembobol Bapindo Rp1,3 triliun yang masuk ke LP Cipinang tapi tahu-tahu menghilang. Saat krisis moneter 1998 menghantam, ia ikut disalahkan sebagai pembuat Pakto 88. “Itu fitnah,” kata Sumarlin menanggapi keterlibatannya dalam kasus Eddy Tansil.
Banyak orang juga tak percaya, karena sosok yang menyamar sebagai Pak Sidik ini pernah membuat gempar Kementerian Keuangan pada 80-an, saat mengurus pensiun dan membongkar praktik pungli di Kantor Perbendaharaan Negara, sebelum mengaku sebagai Menteri Penertiban Aparatur Negara.
Saat soft-launching bank yang kelak jadi Bank Muamalat Indonesia, Menko Ekuin Radius Prawiro, Mooy, dan Sumarlin—ketiganya nonmuslim—hadir. Sampai 5 tahun, hanya 2 nasabah nonmuslim di bank itu: Mooy dan Sumarlin. Kamis, 6 Februari 2020, Sumarlin meninggal dalam usia 87 tahun. Selama jalan, Pak Marlin. (Bsi)
Akses DDTC News lebih mudah karena semua informasi pajak sekarang ada dalam genggaman Anda.
Akses DDTC News lebih mudah karena semua informasi pajak sekarang ada dalam genggaman Anda.