Anda belum login
Anda belum login
Sign InorSign Up
Email
Password
Nama
Email
Password
Ulangi Password
Email
Password
Nama
Email
Password
Ulangi Password
Pencarian
INVESTOR.id
Kegiatan di pabrik PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk. Foto: dok.
JAKARTA – Meski pemerintah sudah mengeluarkan 16 paket kebijakan ekonomi dalam lima tahun terakhir, deindustrialisasi gagal diredam. Koordinasi antarkementerian maupun pemerintah pusat dengan daerah tidak berjalan baik, sehingga paket kebijakan deregulasi justru melahirkan regulasi baru yang menghambat. Industri manufaktur juga masih terhambat dalam memenuhi kebutuhan bahan baku.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM) Kementerian Keuangan Adriyanto mengatakan, tren perlambatan pertumbuhan industri manufaktur di Tanah Air sebenarnya sudah terjadi sejak sekitar tahun 2000. “Manufaktur Indonesia hingga kini belum banyak terlibat dengan proses produksi global, dibanding Vietnam. Investasi baru di manufaktur juga terbatas,” ucap Adrianto saat dihubungi Investor Daily, Jakarta, Jumat (26/7).
Staf Khusus Menteri Perindustrian Bidang Peningkatan Daya Saing Industri, Investasi, Pertumbuhan Industri, Ekspor dan Impor Produk Industri, dan Moneter Zakir S Machmud mengatakan, masalah industri manufaktur di Indonesia ini antara lain karena kurangnya koordinasi antar kementerian/lembaga. Akibatnya, banyak terjadi masalah dan produk industri dalam negeri menjadi tidak kompetitif.
“Bahkan, bahan mentahnya saja ternyata dijual ke luar, sehinga industri dalam negeri tidak kebagian atau harganya menjadi mahal. Butuh koherensi serta koordinasi kebijakan, mengingat industri nggak bisa bekerja sendiri karena dia di tengah. Dia butuh input untuk menghasilkan barang. Kalau input-nya tidak 'ada', ya otomatis barangnya menjadi kurang kompetitif,” ucapnya di Jakarta, Jumat (26/7).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan industri pengolahan nonmigas atau manufaktur cenderung turun. Bila pada 2014 industri ini masih tumbuh 5,61% atau di atas pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,01%, tahun berikutnya turun menjadi 5,05% (pertumbuhan ekonomi 4,88%).
Sejak 2016, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas bahkan merosot di bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang menunjukkan adanya gejala deindustrialisasi. Tahun 2016 industri ini hanya tumbuh 4,43% (pertumbuhan ekonomi 5,03%), tahun 2017 sebesar 4,85% (pertumbuhan ekonomi 5,07%), tahun 2018 sebesar 4,77% (pertumbuhan ekonomi 5,17%), dan pada kuartal I-2019 sebesar 4,8% (pertumbuhan ekonomi 5,07%).
Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan sebelumnya, pertumbuhan industri manufaktur yang selalu di bawah pertumbuhan ekonomi menunjukkan gejala deindustrialisasi Indonesia. Deindustrialisasi ini berpotensi menghambat pertumbuhan. Untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, pemerintah perlu meningkatkan sektor industri manufaktur dalam negeri.
16 Paket Kebijakan
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menuturkan, pemerintah telah mengeluarkan 16 paket kebijakan ekonomi yang sebagian besar menyasar ke peningkatan kinerja industri pengolahan. “Misalnya paket jilid III yang mencakup penurunan tarif listrik dan harga BBM serta gas, lalu paket kebijakan jilid IV yang mengatur mengenai formulasi penetapan UMP (upah mimimum provinsi). Kalau semua paket jalan dan investasi di dalam negeri tumbuh, pertumbuhan industri bisa lebih tinggi,” ucap dia kepada Investor Daily, Jakarta, pekan lalu.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, 16 paket kebijakan ekonomi telah diluncurkan sepanjang lima tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla, tetapi hasilnya masih kurang memuaskan. Pemerintah dinilai kurang mengimplementasikannya di lapangan.
Sejak tahun 2015, pemerintah mengeluarkan 16 paket kebijakan ekonomi. Paket I mengatur upaya mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha.
Paket II, deregulasi dan debirokratisasi peraturan untuk mempermudah investasi, baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun asing (PMA). Implementasinya dalam bentuk kemudahan layanan investasi 3 jam, tax allowance dan tax holiday lebih cepat, pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk alat transportasi, insentif fasilitas di kawasan pusat logistik berikat, insentif pengurangan pajak bunga deposito, serta perampingan izin sektor kehutanan.
Paket III, penurunan tarif listrik, harga BBM dan gas, perluasan penerima KUR, serta penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal. Paket IV mengatur penetapan formulasi UMP, yang bertujuan membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Paket V, revaluasi aset untuk perusahaan BUMN dan individu, serta menghilangkan pajak berganda untuk REIT. Paket VI, insentif untuk kawasan ekonomi khusus (KEK) serta penyederhanaan izin impor bahan baku obat dan makanan oleh BPOM.
Paket VII, keringanan pajak untuk pegawai industri padat karya dan kemudahan mendapatkan sertifikat tanah. Paket VIII, one map policy, mempercepat pembangunan kilang minyak, dan pemberian insentif bagi jasa pemeliharaan pesawat.
Paket IX, percepatan pembangunan infrastruktur tenaga listrik, stabilisasi harga daging, dan peningkatan sektor logistik desa-kota. Paket X, memperlonggar investasi dengan meningkatkan perlindungan bagi UMKM, serta merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI).
Paket XI, pemberian KUR Berorientasi Ekspor (KURBE). Selain itu, pemberian fasilitas pajak penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk penerbitan Dana Investasi Real Estat (DIRE) serta pengembangan industri kefarmasian dan alat kesehatan.
Paket XII, meningkatkan peringkat kemudahan dalam berbisnis (Ease of Doing Business/EODB), dengan memangkas sejumlah prosedur dan perizinan serta biaya dalam mengurus usaha. Paket XIII, memangkas perizinan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dari 33 tahapan perizinan menjadi 11 tahapan, antara lain meliputi izin lokasi, rekomendasi peil banjir, persetujuan gambar master plan, persetujuan dan pengesahan gambar site plan, izin cut and fill, serta analisis dampak lingkungan lalu lintas (andal lalin).
Paket XIV, mengatur tentang peta jalan (road map) perdagangan secara online (e-commerce), yang diharapkan mampu mendorong perluasan dan peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat. Paket XV, mempercepat pengembangan usaha dan daya saing penyedia jasa logistik nasional.
Paket XVI, mempermudah investasi yang terdiri atas dua tahap. Selain itu, memperluas fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan atau tax holiday, relaksasi Daftar Negatif Investasi, dan peningkatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) hasil sumber daya alam.
Tak Terintegrasi hingga Daerah
Shinta mengatakan, secara teori 16 paket ekonomi itu sudah bagus untuk meningkatkan pertumbuhan industri, tetapi implementasinya lemah. Kebijakan dari pemerintah pusat kenyataannya tidak bisa terintegrasi hingga ke daerah.
“Contoh Online Single Submission (OSS) yang menjadi senjata utama pada 16 paket itu, sampai sekarang eksekusinya belum jalan, dengan banyak daerah yang belum terintegrasi perizinannya. Contoh lain, paket kebijakan jilid I yang bertujuan mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha. Namun, yang terjadi di lapangan adalah munculnya regulasi baru, sehingga malah jadi reregulasi bukan deregulasi,” ucap dia kepada Investor Daily, Jakarta, pekan lalu.
Shinta melihat kehadiran pokja sosialisasi, pokja penyelesaian masalah, dan pokja untuk melihat dampak 16 paket kebijakan ekonomi juga tidak maksimal. Pada awalnya setiap pokja memang sangat kencang semangatnya dengan melakukan meeting tiap minggu, tetapi makin lama makin sulit.
“Sulit juga dilihat dari segi efektifitas pokja. Banyak task force, tapi jalannya juga enggak bisa maksimal. Jadi, daripada jumlah yang banyak, lebih baik diprioritaskan tapi bener bisa jalan,” kata dia.
Pandangan Berbeda
Zakir S Machmud mengatakan, Kementerian Perindustrian terus melakukan perbaikan regulasi, misalnya dengan menghapus aturan aturan yang dianggap menghambat ekspor. Begitu juga perbaikan regulasi lainnya, guna meningkatkan industri domestik.
“Kami juga berupaya meyakinkan kementerian/lembaga lain untuk bekerja sama, karena masing-masing punya pandangan yang berbeda. Untuk paket kebijakan ekonomi, yang harus kita lihat adalah sudah sejauh mana monitoring-nya di lapangan, karena level kebijakannya agak di atas, sehingga butuh petunjuk teknis yang lebih detail. Di sisi lain, butuh waktu untuk merasakan dampak kebijakan terhadap industri," ucap Zakir saat dihubungi Investor Daily, Jakarta, Jumat (26/7).
Zakir mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan terus berupaya mendorong pengembangan industri, sumber daya manusia (SDM), investasi, dan ekspor pada periode pemerintahan kedua nanti. Ke depan, tandas dia, perlu sinergi dari semua kementerian/lembaga terkait untuk menyukseskan program presiden.
Sosialisasi Kurang
Sementara itu, Tauhid Ahmad berpendapat, deindustrialisasi terjadi karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal ini di antaranya terkait dengan tidak efektifnya implementasi paket kebijakan di lapangan.
Misalnya, lanjut dia, pemerintah telah membuat kebijakan KEK dengan menyiapkan sejumlah insentif untuk pengusaha yang melakukan usaha di sini. Namun, hingga kini, kebijakan itu belum tersosialisasi dengan baik.
“Investor banyak tidak tahu kalau KEK memiliki fasilitas sejumlah insentif. Akibatnya sudah investasi, tapi investor tidak mendapatkan insentif, terutama dalam bentuk tax allowance dan tax holiday. Ini yang perlu dikawal,” ucap Tauhid ketika dihubungi pada Sabtu (27/7).
Insentif itu, di antaranya, diskon pajak penghasilan maupun pajak pertambahan nilai. Selain itu, insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tidak dipungut untuk kegiatan impor, pemasukan dari tempat lain dalam daerah pabean (TLDDP) ke KEK, tarif bea masuk memakai ketentuan Surat Keterangan Asal (SKA) untuk aktivitas dari KEK ke pasar domestik, serta orang asing/badan usaha asing dapat memiliki hunian/properti di KEK berupa rumah tapak atau satuan rumah susun.
Saat ini, ada 12 KEK di seluruh Indonesia, yaitu KEK Arun Lhokseumawe, KEK Sei Mangkei, KEK Tanjung Api-Api, KEK Tanjung Kelayang, dan KEK Galang Batang. Selain itu, KEK Tanjung Lesung, KEK Mandalika, KEK Palu, KEK Bitung, KEK Morotai, KEK Sorong, serta KEK Maloy Batuta Trans Kalimantan.
Menurut Tauhid, permasalahan ini terjadi di level teknis. Pasalnya, KEK mempunyai otoritas sendiri, sedangkan insentif berasal dari kementerian yang bertanggung jawab.
”Jadi, proses pengawalan belum konkret. Memang sudah ada pokja, tapi levelnya banyak kebijakan, sedangkan di level teknisnya masih kurang. Dengan sistem ini, investasi yang masuk ke kita umumnya di level tersier, seperti level jasa," ucap Tauhid.
Biaya Logistik Tetap Tinggi
Tauhid menjelaskan lebih lanjut, industri pengolahan di Indonesia belum berjalan optimal, antara lain juga karena sebagian besar bahan baku industri dari impor. “Keran impor juga dibuka tanpa melihat kesiapan industri. Seharusnya disesuaikan, yaitu industri didorong maju dulu baru membuka keran impor sesuai kebutuhan yang ada,” ucap Tauhid.
Ia mengatakan, ke depan, perlu membangun sistem terkoneksi antara ekspor dan impor. Saat akan melakukan impor, Kementerian Perdagangan berkoordinasi dulu dengan Kementerian Peridustrian, untuk melihat seberapa jauh industri dalam negeri bisa mengamankan pasar.
“Perlu membangun basis data terkoneksi dengan kementerian. Saat impor lebih murah, maka harus ada kebijakan tambahan lain. Pemerintah harus cepat mengambil keputusan, kalau tidak cepat, industri akan mati,” tandas Tauhid.
Belum sinkronnya kebijakan antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, kata dia, sering menghambat pemenuhan kebutuhan dari industri pengolahan. Saat industri dalam negeri terhambat, maka kontinuitas untuk masuk ke pasar luar negeri akan terganggu.
Sedangkan pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, masih rendahnya kontribusi industri pengolahan lebih disebabkan prioritas pembangunan yang masing mengandalkan komoditas dan minim nilai tambah. Selain itu, koneksi pembangunan infrastruktur terhadap industri juga masih terbatas.
“Hal itu menyebabkan kita terjebak di situ, gagal melakukan investasi di industri. Ingin membangun infrastruktur, namun koneksinya masih terbatas terhadap industri. Kalau dilihat korelasinya tidak terlalu signifikan,” ucap dia.
Ia mencontohkan, pembangunan jalan tol mampu meningkatkan transaksi ekonomi antardaerah, namun tidak mampu menurunkan ongkos produksi dan ongkos logistik dari industri yang harus melewati jalur laut. Biaya produksi juga terbebani dari sisi tenaga kerja, karena sangat tidak produktif bila dibandingkan dengan kenaikan upah.
Ia menuturkan, 16 paket kebijakan itu seharusnya sudah tepat sasaran, sebab paket deregulasi dan debirokratisasi ini sudah menyentuh beberapa aspek penting, tetapi implementasinya sangat rendah. Saat ini, lanjut dia, masih ada permasalahan di tingkat daerah yang belum sinkron dengan pusat.
“Perizinan terlihat masih ada masalah, dari adanya tumpang tindah kebijakan dan peraturan yang justru menghambat investasi. Padahal, industri merupakan kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi,” paparnya.
Fithra menyebut, pembangunan industri penting dalam mendorong kinerja ekspor dan investasi. Hal ini berikutnya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
“Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk memperkuat iklim investasi orientasi ekspor. Kalau pertumbuhan ekspor dalam setahun sudah bisa 12%, pertumbuhan ekonomi baru bisa tinggi mencapai 7%,” ujar dia.
Perlu Insentif TPT
Pada kesempatan terpisah, ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, deindustrialisasi terjadi karena investasi yang masuk ke Indonesia lebih didominasi oleh sektor jasa daripada industri pengolahan. “Yang cukup signfiikan khususnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, e-commerce, dan fintech. Ini tidak dibarengi dengan peningkatan produksi sektor manufaktur, sehingga juga menyebabkan impor barang-barang konsumsi naik signfikan tahun lalu. Itu penyebab deindustrialisasi, kinerja industri manufaktur turun,” ujar dia.
Ke depan, lanjut dia, yang harus dilakukan adalah reindustrialisasi dengan mendorong sektor industri strategis dan padat karya seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, dan besi baja. Sektor ini perlu mendapatkan beragam insentif dari pemerintah.
Selain itu, perlu pembenahan kawasan industri terkait infrastruktur yang harus difokuskan untuk menunjang kawasan industri. “Sebanyak 16 paket kebijakan dipertajam dulu sebelum membuat paket kebijakan baru, dengan ada evaluasi dan yang terpenting SDM diperkuat. Sebab, industri kita menurun dan produktivitas SDM melambat, kalah saing dengan negara tetangga, Vietnam, Thailand, dan Filipina,” imbuhnya.
Berdasarkan data BKPM, untuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) dalam kurun waktu lima tahun terakhir hingga Maret 2019, industri pengolahan terus mengalami penurunan. PMDN industri pengolahan manufacturing tahun 2016 sebesar Rp 106,8 triliun atau 49,4% dari total PMDN, lalu turun pada 2017 menjadi Rp 99,2 triliun atau 37,8% dan pada 2018 senilai Rp 83,6 triliun atau 25,4%. Sedangkan periode Januari hingga Maret 2019 hanya sebesar 18,5% atau senilai Rp 16,1 triliun.
Penurunan PMA sektor industri pengolahan ini juga terlihat dari data realisasi kuartal I-2019 yang hanya US$ 1,9 miliar. Sementara itu, pada sepanjang tahun 2014 masih sebesar US$ 13 miliar.
Harus SNI
Pada kesempatan terpisah, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan mengatakan, paket kebijakan ekonomi harus memberikan dampak nyata pada industri manufaktur dan implementasinya harus dipastikan berjalan lancar. “Pada intinya, apa pun kebijakan yang dikeluarkan harus konsisten dengan realisasinya di lapangan. Dalam membuat paket kebijakan ekonomi, pemerintah juga harus melibatkan pengusaha, karena pengusaha yang akan merasakan dampaknya," ujar dia kepada Investor Daily di Jakarta, belum lama ini.
Johnny mengatakan, agar industri manufaktur dan turunannya bisa bersaing, maka pemerintah harus menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ketat. Apapun produk yang masuk ke pasar Indonesia harus berlabel SNI.
“SNI harus menjadi kekuatan dan tidak boleh dipermainkan. Di samping itu, industri manufaktur juga harus diberikan insentif agar semakin berkembang. Insentif yang diberikan berupa insentif pajak dan kemudahan perizinan, keduanya sangat dibutuhkan industri,” ucapnya.
Editor : Esther Nuky (esther@investor.co.id)
Sumber : Investor Daily
Terpopuler
01
Seru! Manajemen Bukit Asam (PTBA) Usul Dividen 50%, Pemegang Saham Minta 100%, Tok…
Selasa, 24 Mei 2022 | 17:31 WIB
02
Anggota Komisi VI Desak Bappebti Buka Blokir Withdrawal Member DNA Pro
Rabu, 25 Mei 2022 | 14:31 WIB
03
Masuk Watchlist Bursa, Hati-hati dengan 18 Saham Ini
Selasa, 24 Mei 2022 | 07:42 WIB
04
Bos Astra (ASII) Ungkap Rencana Mobil Listrik, Hasil Pembicaraan dengan Toyota
Senin, 23 Mei 2022 | 21:22 WIB
05
GIC Kurangi Kepemilikan Saham di Bank Jago (ARTO) Saat Harga Turun, Ada Apa?
Selasa, 24 Mei 2022 | 17:26 WIB
Terkini
Presiden Dewan Eropa Yakin UE Segera Sepakati Embargo Minyak Rusia
Rabu, 25 Mei 2022 | 19:30 WIB
Bertemu Founder WEF, Menkominfo Bahas Peran RI dalam Isu Global
Rabu, 25 Mei 2022 | 19:22 WIB
Catur Sentosa (CSAP) Pacu Ekspansi Sektor Ritel Modern
Rabu, 25 Mei 2022 | 19:14 WIB
Kembangkan Digital Talent Indonesia, Kuncie Berkolaborasi dengan Google
Rabu, 25 Mei 2022 | 19:10 WIB
Ferdinand Marcos Jr Jadi Presiden Filipina, Disambut dengan Demonstrasi
Rabu, 25 Mei 2022 | 19:08 WIB
Copyright ©2022 Investor Daily. All Rights Reserved